Penulis : KI DADAPTULIS
Bagaimana penis bisa disandera? Bukankah onderdil ini selalu melekat di tempatnya. Kalau disandera, berarti harus dilepas. Bagaimana mungkin bisa terjadi? Kisah mistis ini pernah menimpa seorang pria di Kalimantan. Pelaku peristiwa menuturkannya....
Saya adalah seorang sopir. Penghasilan saya sewaktu bekerja di Jawa kurang memuaskan. Walau saya masih bujangan, kebutuhan hidup saya cukup besar. Apalagi saya masih mempunyai tanggungan empat orang adik yang harus saya biayai sekolahnya.
Ayah sudah meninggal, sedangkan ibu hanyalah seorang buruh tani. Maka ketika ada tawaran bekerja di Sumatera dengan gaji yang cukup tinggi, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
Empat tahun di Sumatera saya rasakan hasil jerih payah saya. Sawah yang tergadai sewaktu ayah sakit dapat kami tebus. Saya merasa betah bekerja sebagai pengemudi loging truck. Selain hasilnya lumayan, saya tidak pernah berurusan dengan polisi. Jauh berbeda bila dibandingkan ketika bekerja sebagai sopir bus.
Ketika perusahaan membuka areal baru di Kalimantan Tengah, saya termasuk salah satu karyawan yang dengan sukarela pindah ke sana. Menurut perhitungan saya, areal baru penebangan tentu kayunya masih cukup banyak sehingga hasil yang saya peroleh pasti juga cukup besar. Selain itu jarak antara tempat penebangan dengan tempat penampungan kayu masih sangat dekat. Minimal dua belas rit sehari bisa saya angkut, dengan demikian penghasilan akan berlipat ganda.
Saya termasuk anak muda yang pandai bergaul. Buktinya, tidak lama tinggal di camp baru, tepatnya di Kampung Rantau Asem yang berada di hulu sungai Katingan, saya telah banyak kenal sesama anak muda penduduk setempat. Salah satunya adalah Emi, gadis Dayak Ngaju yang menurutku cantik jelita, dengan kulitnya yang khas, kuning langsat.
Emi memang begitu menggodaku. Karena itu, tidak perlu berlama-lama pacaran, saya dan Emi memutuskan untuk segera menikah. Lamaran dilakukan oleh Manager Camp, yang mewakili keluargaku yang tidak dapat hadir. Maklumlah, Ibuku sudah terlalu tua untuk melakukan perjalanan jarak jauh, sedangkan adik-adikku semuanya sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.
Seperti kebiasaan adat penduduk setempat pada waktu itu, aku harus menyerahkan barang-barang elektronik seperti radio, tape recorder dan peralatan dapur sebagai mas kawin.
Pesta pernikahan cukup meriah walaupun sangat sederhana menurut ukuran penduduk setempat pada umumnya. Aku sangat bahagia dapat menyunting gadis Dayak Ngaju yang menjadi incaran banyak pemuda di kampungnya.
Setelah menikahi Emi, hari-hariku penuh madu kemesraan. Dari pagi sampai sore aku bekerja mengangkut kayu dari hutan ke Log-pond (tempat penumpakan kayu). Dan malam harinya kuhabiskan waktuku bersama Emi.
Sebagai lelaki muda, aku banyak pengalaman dengan gadis-gadis di kota. Tetapi bila dibandingkan dengan Emi, isteriku, mereka bukanlah tandingannya. Emi menyimpan daya seks yang luar biasa.
Kalau saja aku tidak rajin minum air pasak bumi, mungkin aku sudah terkapar lemas setiap pagi. Bayangkan, hampir setiap malam kami selalu bercinta dan bercinta. Nyaris sepanjang malam.
Waktu berputar begitu cepat. Tidak terasa sudah lima tahun aku menikah dengan Emi. Tetapi sampai saat itu kami belum dikaruniai momonngan. Aku dan Emi tidak mempermasalahkan hal ini.
Kami menikmati saja hari-hari yang ada. Sampai akhirnya datang malapetaka itu. Pada suatu hari datang sepucuk surat dari Jawa. Persisnya dari Ibuku. Tentu saja yang menulis bukan Ibuku, tetapi adik perempuanku yang masih tinggal bersamanya, sebab adikku yang lain mengikuti suaminya masing-masing di lain kota.
Surat berbahasa Jawa itu isinya meminta agar aku segera pulang ke Jawa. Aku akan dinikahkan dengan gadis pilihan Ibu dengan maksud agar dapat mempunyai keturunan.
"Gadis Dayak itu tidak dapat memberimu anak. Sedangkan Ibu sangat ingin untuk menimang cucu darimu," kata Ibu dalam surat itu.
Aku sangat bingung. Ada perang batin yang begitu dahsyat berkecamuk dalam dadaku. Di satu sisi aku sangat mencintai Emi, dan di sisi lain aku juga sangat sayang serta hormat kepada Ibuku. Aku tidak mampu memilih. Itulah sebabnya aku meminta pendapat Pak Slamet, Manager Camp.
"Memang tidak mudah untuk mengambil keputusan dalam kasusmu ini. Yang saya herankan, mengapa Ibumu begitu mudah membuat keputusan untuk mengawinkan kamu dengan gadis pilihannya. Bagaimana seandainya hal seperti itu menimpa dia pada waktu mudanya," kata Pak Slamet.
"Saya sangat mencintai Ibu saya. Tetapi saya juga mencintai Emi. Ibu sangat dekat dengan saya. Walau anaknya lima tetapi saya yang menjadi anak kebanggaannya. Tetapi seharusnya ibu musyawarah dulu dengan saya sebelum mengambil keputusan," kataku menggumam seperti berbicara dengan diri sendiri.
"Emi tahu tentang ini?" tanya Pak Slamet.
"Tidak, Pak. Saya tidak mempunyai keberanian untuk berterus terang kepadanya," jawabku.
"Bagus. Tidak ada perempuan yang mau dimadu. Apalagi dicerai. Sebaiknya Emi jangan tahu."
"Lalu, apakah saya tidak usah pulang?"
"Pulanglah. Kau harus menjadi anak yang berbakti. Berilah Ibumu pengertian. Yang menentukan kita punya anak atau tidak itu adalah Tuhan. Kapan kita punya anak, rizki kita, bahkan ajal kita. Hanya Allah yang berhak menentukan."
"Alasan apa yang harus kusampaikan kepada Emi, Pak?"
"Banyak alasan. Bilang saja ada keluarga yang sakit, meninggal, menikah atau apa saja."
"Kalau dia mau ikut?"
"Bilang saja kamu tidak punya biaya. Lagipula kamu harus buru-buru sebab cutimu cuma seminggu."
"Baiklah. Saya akan coba!"
Aku meninggalkan ruangan Pak Slamet dengan masih diliputi berbagai persoalan.
Sore harinya, ketika sampai di kamarku, Emi menangkap kemurungan wajahku. Kegundahanku tidak dapat kusembunyikan.
"Ada persoalan apa, Mas?" tanya Emi lembut sambil membelai rambutku.
"Aku dapat surat dari Jawa!" jawabku.
"Lho, cuma surat saja kok dibuat sedih."
"Aku disuruh pulang karena ada yang sakit. Aku tidak punya uang."
"Simpanan kita tidak cukup?"
"Cukup kalau untuk aku sendiri."
"Kalau begitu, Mas pulang sendiri saja," kata Emi, sekaligus membuat batinku lega.
Namun, rupanya Emi curiga ada sesuatu yang tidak beres. Begitu aku berangkat, Emi membawa surat itu ke Pak Slamet.
"Surat ini isinya apa, Pak?" tanya Emi.
"Baca saja. Kamu kan bisa membaca," jawab Pak Slamet.
"Saya bisa membacanya, tetapi tidak mengerti maksudnya," jawab Emi.
"Mengapa?"
"Tidak tahu bahasanya. Pakai Bahasa Jawa, ya?"
Pak Slamet pura-pura membaca. Kemudian dia mengatakan kepada Emi bahwa ada keluargaku di Jawa yang sakit. "Kamto disuruh pulang karena ada yang sakit." begitu bohong Pak Slamet.
Emi rupanya tidak puas dengan jawaban Pak Slamet. Kemudian dia meminta tolong kepada salah seorang isteri karyawan yang lain, entah siapa sampai sekarang aku tidak tahu. Di situlah Emi tahu kalau aku akan dikawinkan dengan perempuan lain karena Emi dianggap tidak mampu memberiku keturunan.
Emi memang pemain watak nomor satu. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda cemburu. Keberangkatanku diantar dengan senyum manisnya. Perlu juga saya sampaikan kepada pembaca, bahwa malam sebelum keberangkatanku kami bercinta hampir sepanjang malam, Emi menunjukkan gairahnya yang luar biasa.
Setiba di Banjarmasin saya naik pesawat menuju Surabaya. Di Juanda inilah aku mengetahui kalau "Burung" ku lenyap. Waktu itu aku ingin buang air kecil. Sudah sejak ada di atas pesawat kutahan hajat ini.
Begitu aku berada di kamar kecil dan aku membuka celanaku, aku tidak melihat "burung" kesayanganku itu. Tentu saja aku panik. Kemana gerangan? Aku tak habis pikir.
Agar cepat sampai, aku memilih menyewa taksi ketimbang naik bus menuju Jawa Tengah. Tepatnya di Boyolali.
Begitu tiba di rumah aku menubruk Ibuku meraung menangis di pangkuannya.
"Ono opo, Le. Teko-teko kok nangis (ada apa, nak. datang-datang kok nangis)?" tanya ibuku sampai mengelus-elus rambut kepalaku.
"Anu, Bu...Barang saya hilang, Mbok!" jawabku seperti anak kecil.
"Ya, sudah. Barang hilang tidak usah ditangisi. Bila ada rezeki nanti beli lagi."
"Barang yang hilang ini tidak bisa dibeli, Mbok. Tidak ada yang jual."
"Barang opo to, le. Kok tidak ada yang jual."
"Barang ini lho, Mbok!" jawabku sambil tanpa malu-malu melorotkan celanaku.
Di bawah rimbunnya semak-semak hitam tidak ada barang yang biasa bertengker disitu. Tentu saja Ibuku dan yang hadir menjadi seperti orang linglung. Heran bercampur bingung. Pamanku menyarankan agar aku dibawa ke "orang pintar". Aku pun menurutinya.
Namun, entah sudah berapa orang tua di daerahku yang kami datangi tetapi tidak ada satupun yang dapat memberikan solusi yang memuaskan.
Akhirnya aku pergi ke Klaten. Persisnya ke rumah mantan Kepala Kantor sebuah perusahaan swasta di Banjarmasin. Beliau bukan paranormal atau sejenisnya, tetapi sangat berpengalaman dalam hal-hal seperti itu.
Setelah berbasa-basi sebentar, pamanku menyampaikan maksud kami. Aku menceritakan sedikit gambaran mengapa aku pulang ke Boyolali. Mendengar ceritaku Pak Adi, orang pintar itu tertawa lebar.
"Saya kira apa yang pernah saya dengar itu hanya dongeng atau sekedar lelucon. Ternyata memang benar-benar ada. Kalau begitu jangan khawatir," kata Pak Adi.
"Jangan khawatir bagaimana. Lha wong "burung" hilang kok. Ini serius, Pak!" sergah pamanku.
"Begini. Dik Kamto apakah berniat menceraikan Emi?" tanya Pak Adi.
"Tidak. Saya tidak mungkin menceraikan Emi, Pak. Saya sangat mencintainya!" jawabku, tegas.
"Kalau begitu cepatlah kembali ke Camp Rantau Asem. Kamu akan mendapatkan kembali barangmu yang hilang itu!"
"Apakah betul, Pak?" aku penasaran.
"Saya jamin seratus persen!" tegas Pak Adi.
Tidak ada jalan lain kecuali aku harus segera kembali ke Rantau Asem, Katingan, Kalimantan Tengah. Menyadari keadaan yang aku alami, sampai aku kembali ke tempat kerja tidak ada pembicaraan mengenai pernikahan yang diinginkan oleh Ibuku.
Singkat cerita, aku telah tiba kembali di Rantau Asem tempatku bekerja. Namun sesampainya di sana, ternyata isteriku tidak ada di barakku. Dia pulang ke kampungnya, yang memang tidak begitu jauh dari camp. Aku pun segera menyusulnya ke sana
Emi memang pemain watak yang sempurna. Setiba di rumah mertua aku disambut isteriku dengan hangat. Inilah yang membuatku tidak bisa melupakannya.
"Mas, ketinggalan burung, ya?" tanyanya manja.
"Aku sangat khawatir, Em!" jawabku sambil memeluknya dengan gemas.
"Tidak usah khawatir. Barang mas tersimpan rapi kok. Ada di sini!" kata Emi sambil menunjukkan stoples berisi sesuatu. Astaga! Sulit dipercaya. Ternyata isi toples itu adalah "burungku" yang nampak teronggok tak berdaya. Dengan santai Emi mengambil barang itu lalu menempelkannya ditempatnya. Burungku pun kembali bertengger di sangkarnya semula.
Ajaib, mengherankan, tak masuk akal! Dan entah kata apa lagi yang dapat kuucapkan. Tetapi itulah kenyataannya. Entah ilmu apa yang telah digunakan oleh Emi untuk melakukan tindakan yang sangat ajaib itu. Hingga kini aku tak mengetahuinya. Namun yang pasti, hal seperti ini kerap terjadi dan dilakukan oleh suku Dayak Ngaju.
Walau sampai sekarang aku dan Emi tidak dikaruniai anak, kami tetap bahagia. Kami hidup dalam bulan madu setiap hari. Soal anak, biarlah Tuhan yang akan mengaturnya.
Bagaimana penis bisa disandera? Bukankah onderdil ini selalu melekat di tempatnya. Kalau disandera, berarti harus dilepas. Bagaimana mungkin bisa terjadi? Kisah mistis ini pernah menimpa seorang pria di Kalimantan. Pelaku peristiwa menuturkannya....
Saya adalah seorang sopir. Penghasilan saya sewaktu bekerja di Jawa kurang memuaskan. Walau saya masih bujangan, kebutuhan hidup saya cukup besar. Apalagi saya masih mempunyai tanggungan empat orang adik yang harus saya biayai sekolahnya.
Ayah sudah meninggal, sedangkan ibu hanyalah seorang buruh tani. Maka ketika ada tawaran bekerja di Sumatera dengan gaji yang cukup tinggi, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
Empat tahun di Sumatera saya rasakan hasil jerih payah saya. Sawah yang tergadai sewaktu ayah sakit dapat kami tebus. Saya merasa betah bekerja sebagai pengemudi loging truck. Selain hasilnya lumayan, saya tidak pernah berurusan dengan polisi. Jauh berbeda bila dibandingkan ketika bekerja sebagai sopir bus.
Ketika perusahaan membuka areal baru di Kalimantan Tengah, saya termasuk salah satu karyawan yang dengan sukarela pindah ke sana. Menurut perhitungan saya, areal baru penebangan tentu kayunya masih cukup banyak sehingga hasil yang saya peroleh pasti juga cukup besar. Selain itu jarak antara tempat penebangan dengan tempat penampungan kayu masih sangat dekat. Minimal dua belas rit sehari bisa saya angkut, dengan demikian penghasilan akan berlipat ganda.
Saya termasuk anak muda yang pandai bergaul. Buktinya, tidak lama tinggal di camp baru, tepatnya di Kampung Rantau Asem yang berada di hulu sungai Katingan, saya telah banyak kenal sesama anak muda penduduk setempat. Salah satunya adalah Emi, gadis Dayak Ngaju yang menurutku cantik jelita, dengan kulitnya yang khas, kuning langsat.
Emi memang begitu menggodaku. Karena itu, tidak perlu berlama-lama pacaran, saya dan Emi memutuskan untuk segera menikah. Lamaran dilakukan oleh Manager Camp, yang mewakili keluargaku yang tidak dapat hadir. Maklumlah, Ibuku sudah terlalu tua untuk melakukan perjalanan jarak jauh, sedangkan adik-adikku semuanya sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.
Seperti kebiasaan adat penduduk setempat pada waktu itu, aku harus menyerahkan barang-barang elektronik seperti radio, tape recorder dan peralatan dapur sebagai mas kawin.
Pesta pernikahan cukup meriah walaupun sangat sederhana menurut ukuran penduduk setempat pada umumnya. Aku sangat bahagia dapat menyunting gadis Dayak Ngaju yang menjadi incaran banyak pemuda di kampungnya.
Setelah menikahi Emi, hari-hariku penuh madu kemesraan. Dari pagi sampai sore aku bekerja mengangkut kayu dari hutan ke Log-pond (tempat penumpakan kayu). Dan malam harinya kuhabiskan waktuku bersama Emi.
Sebagai lelaki muda, aku banyak pengalaman dengan gadis-gadis di kota. Tetapi bila dibandingkan dengan Emi, isteriku, mereka bukanlah tandingannya. Emi menyimpan daya seks yang luar biasa.
Kalau saja aku tidak rajin minum air pasak bumi, mungkin aku sudah terkapar lemas setiap pagi. Bayangkan, hampir setiap malam kami selalu bercinta dan bercinta. Nyaris sepanjang malam.
Waktu berputar begitu cepat. Tidak terasa sudah lima tahun aku menikah dengan Emi. Tetapi sampai saat itu kami belum dikaruniai momonngan. Aku dan Emi tidak mempermasalahkan hal ini.
Kami menikmati saja hari-hari yang ada. Sampai akhirnya datang malapetaka itu. Pada suatu hari datang sepucuk surat dari Jawa. Persisnya dari Ibuku. Tentu saja yang menulis bukan Ibuku, tetapi adik perempuanku yang masih tinggal bersamanya, sebab adikku yang lain mengikuti suaminya masing-masing di lain kota.
Surat berbahasa Jawa itu isinya meminta agar aku segera pulang ke Jawa. Aku akan dinikahkan dengan gadis pilihan Ibu dengan maksud agar dapat mempunyai keturunan.
"Gadis Dayak itu tidak dapat memberimu anak. Sedangkan Ibu sangat ingin untuk menimang cucu darimu," kata Ibu dalam surat itu.
Aku sangat bingung. Ada perang batin yang begitu dahsyat berkecamuk dalam dadaku. Di satu sisi aku sangat mencintai Emi, dan di sisi lain aku juga sangat sayang serta hormat kepada Ibuku. Aku tidak mampu memilih. Itulah sebabnya aku meminta pendapat Pak Slamet, Manager Camp.
"Memang tidak mudah untuk mengambil keputusan dalam kasusmu ini. Yang saya herankan, mengapa Ibumu begitu mudah membuat keputusan untuk mengawinkan kamu dengan gadis pilihannya. Bagaimana seandainya hal seperti itu menimpa dia pada waktu mudanya," kata Pak Slamet.
"Saya sangat mencintai Ibu saya. Tetapi saya juga mencintai Emi. Ibu sangat dekat dengan saya. Walau anaknya lima tetapi saya yang menjadi anak kebanggaannya. Tetapi seharusnya ibu musyawarah dulu dengan saya sebelum mengambil keputusan," kataku menggumam seperti berbicara dengan diri sendiri.
"Emi tahu tentang ini?" tanya Pak Slamet.
"Tidak, Pak. Saya tidak mempunyai keberanian untuk berterus terang kepadanya," jawabku.
"Bagus. Tidak ada perempuan yang mau dimadu. Apalagi dicerai. Sebaiknya Emi jangan tahu."
"Lalu, apakah saya tidak usah pulang?"
"Pulanglah. Kau harus menjadi anak yang berbakti. Berilah Ibumu pengertian. Yang menentukan kita punya anak atau tidak itu adalah Tuhan. Kapan kita punya anak, rizki kita, bahkan ajal kita. Hanya Allah yang berhak menentukan."
"Alasan apa yang harus kusampaikan kepada Emi, Pak?"
"Banyak alasan. Bilang saja ada keluarga yang sakit, meninggal, menikah atau apa saja."
"Kalau dia mau ikut?"
"Bilang saja kamu tidak punya biaya. Lagipula kamu harus buru-buru sebab cutimu cuma seminggu."
"Baiklah. Saya akan coba!"
Aku meninggalkan ruangan Pak Slamet dengan masih diliputi berbagai persoalan.
Sore harinya, ketika sampai di kamarku, Emi menangkap kemurungan wajahku. Kegundahanku tidak dapat kusembunyikan.
"Ada persoalan apa, Mas?" tanya Emi lembut sambil membelai rambutku.
"Aku dapat surat dari Jawa!" jawabku.
"Lho, cuma surat saja kok dibuat sedih."
"Aku disuruh pulang karena ada yang sakit. Aku tidak punya uang."
"Simpanan kita tidak cukup?"
"Cukup kalau untuk aku sendiri."
"Kalau begitu, Mas pulang sendiri saja," kata Emi, sekaligus membuat batinku lega.
Namun, rupanya Emi curiga ada sesuatu yang tidak beres. Begitu aku berangkat, Emi membawa surat itu ke Pak Slamet.
"Surat ini isinya apa, Pak?" tanya Emi.
"Baca saja. Kamu kan bisa membaca," jawab Pak Slamet.
"Saya bisa membacanya, tetapi tidak mengerti maksudnya," jawab Emi.
"Mengapa?"
"Tidak tahu bahasanya. Pakai Bahasa Jawa, ya?"
Pak Slamet pura-pura membaca. Kemudian dia mengatakan kepada Emi bahwa ada keluargaku di Jawa yang sakit. "Kamto disuruh pulang karena ada yang sakit." begitu bohong Pak Slamet.
Emi rupanya tidak puas dengan jawaban Pak Slamet. Kemudian dia meminta tolong kepada salah seorang isteri karyawan yang lain, entah siapa sampai sekarang aku tidak tahu. Di situlah Emi tahu kalau aku akan dikawinkan dengan perempuan lain karena Emi dianggap tidak mampu memberiku keturunan.
Emi memang pemain watak nomor satu. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda cemburu. Keberangkatanku diantar dengan senyum manisnya. Perlu juga saya sampaikan kepada pembaca, bahwa malam sebelum keberangkatanku kami bercinta hampir sepanjang malam, Emi menunjukkan gairahnya yang luar biasa.
Setiba di Banjarmasin saya naik pesawat menuju Surabaya. Di Juanda inilah aku mengetahui kalau "Burung" ku lenyap. Waktu itu aku ingin buang air kecil. Sudah sejak ada di atas pesawat kutahan hajat ini.
Begitu aku berada di kamar kecil dan aku membuka celanaku, aku tidak melihat "burung" kesayanganku itu. Tentu saja aku panik. Kemana gerangan? Aku tak habis pikir.
Agar cepat sampai, aku memilih menyewa taksi ketimbang naik bus menuju Jawa Tengah. Tepatnya di Boyolali.
Begitu tiba di rumah aku menubruk Ibuku meraung menangis di pangkuannya.
"Ono opo, Le. Teko-teko kok nangis (ada apa, nak. datang-datang kok nangis)?" tanya ibuku sampai mengelus-elus rambut kepalaku.
"Anu, Bu...Barang saya hilang, Mbok!" jawabku seperti anak kecil.
"Ya, sudah. Barang hilang tidak usah ditangisi. Bila ada rezeki nanti beli lagi."
"Barang yang hilang ini tidak bisa dibeli, Mbok. Tidak ada yang jual."
"Barang opo to, le. Kok tidak ada yang jual."
"Barang ini lho, Mbok!" jawabku sambil tanpa malu-malu melorotkan celanaku.
Di bawah rimbunnya semak-semak hitam tidak ada barang yang biasa bertengker disitu. Tentu saja Ibuku dan yang hadir menjadi seperti orang linglung. Heran bercampur bingung. Pamanku menyarankan agar aku dibawa ke "orang pintar". Aku pun menurutinya.
Namun, entah sudah berapa orang tua di daerahku yang kami datangi tetapi tidak ada satupun yang dapat memberikan solusi yang memuaskan.
Akhirnya aku pergi ke Klaten. Persisnya ke rumah mantan Kepala Kantor sebuah perusahaan swasta di Banjarmasin. Beliau bukan paranormal atau sejenisnya, tetapi sangat berpengalaman dalam hal-hal seperti itu.
Setelah berbasa-basi sebentar, pamanku menyampaikan maksud kami. Aku menceritakan sedikit gambaran mengapa aku pulang ke Boyolali. Mendengar ceritaku Pak Adi, orang pintar itu tertawa lebar.
"Saya kira apa yang pernah saya dengar itu hanya dongeng atau sekedar lelucon. Ternyata memang benar-benar ada. Kalau begitu jangan khawatir," kata Pak Adi.
"Jangan khawatir bagaimana. Lha wong "burung" hilang kok. Ini serius, Pak!" sergah pamanku.
"Begini. Dik Kamto apakah berniat menceraikan Emi?" tanya Pak Adi.
"Tidak. Saya tidak mungkin menceraikan Emi, Pak. Saya sangat mencintainya!" jawabku, tegas.
"Kalau begitu cepatlah kembali ke Camp Rantau Asem. Kamu akan mendapatkan kembali barangmu yang hilang itu!"
"Apakah betul, Pak?" aku penasaran.
"Saya jamin seratus persen!" tegas Pak Adi.
Tidak ada jalan lain kecuali aku harus segera kembali ke Rantau Asem, Katingan, Kalimantan Tengah. Menyadari keadaan yang aku alami, sampai aku kembali ke tempat kerja tidak ada pembicaraan mengenai pernikahan yang diinginkan oleh Ibuku.
Singkat cerita, aku telah tiba kembali di Rantau Asem tempatku bekerja. Namun sesampainya di sana, ternyata isteriku tidak ada di barakku. Dia pulang ke kampungnya, yang memang tidak begitu jauh dari camp. Aku pun segera menyusulnya ke sana
Emi memang pemain watak yang sempurna. Setiba di rumah mertua aku disambut isteriku dengan hangat. Inilah yang membuatku tidak bisa melupakannya.
"Mas, ketinggalan burung, ya?" tanyanya manja.
"Aku sangat khawatir, Em!" jawabku sambil memeluknya dengan gemas.
"Tidak usah khawatir. Barang mas tersimpan rapi kok. Ada di sini!" kata Emi sambil menunjukkan stoples berisi sesuatu. Astaga! Sulit dipercaya. Ternyata isi toples itu adalah "burungku" yang nampak teronggok tak berdaya. Dengan santai Emi mengambil barang itu lalu menempelkannya ditempatnya. Burungku pun kembali bertengger di sangkarnya semula.
Ajaib, mengherankan, tak masuk akal! Dan entah kata apa lagi yang dapat kuucapkan. Tetapi itulah kenyataannya. Entah ilmu apa yang telah digunakan oleh Emi untuk melakukan tindakan yang sangat ajaib itu. Hingga kini aku tak mengetahuinya. Namun yang pasti, hal seperti ini kerap terjadi dan dilakukan oleh suku Dayak Ngaju.
Walau sampai sekarang aku dan Emi tidak dikaruniai anak, kami tetap bahagia. Kami hidup dalam bulan madu setiap hari. Soal anak, biarlah Tuhan yang akan mengaturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar