free counters

Kamis, 23 Juni 2011

Sang Raja Tanpa Mahkota



"Sang raja tanpa mahkota", demikian kaum Kompeni Belanda menyebutnya. Dia lihai, cerdas, bersemangat, ditakuti, juga disegani lawan – lawan politiknya. Perjuangannya dalam membela hak kaum pribumi, benar - benar menempatkan dirinya menjadi seorang tokoh yang sangat dihormati saat itu. Itulah sosok HOS Cokroaminoto yang lahir di Desa Bakur, Madiun Jawa Timur, 16 Agustus 1883. Meski terlahir sebagai keturunan bangsawan, anak kedua dari dua belas bersaudara, putra  Raden Mas Cokro Amiseno, seorang Wedana Kleco dan cucu RT Adipati Negoro bupati Ponorogo itu, jauh dari sikap angkuh. Bahkan, HOS akhirnya menjadi motor penggerak kemerdekaan Indonesia, di saat yang lain 'tertidur'dalam belaian kompeni Belanda. HOS Cokroaminoto adalah tokoh politik yang berhasil menggabungkan retorika politik melawan penjajah Belanda dengan ideologi Islam, sehingga mampu mengenyahkan penjajah dari bumi Nusantara.


==========

jongjava_HOS_CokroaminotoPada sebuah petikan kata, Wondoamiseno, Sekjen PSSI 1950, mengungkapkan bahwa HOS Cokroaminoto adalah seorang yang memiliki keyakinan teguh.

"Tjokroaminoto mempunyai keyakinan yang teguh, bahwa Negara dan bangsa kita tak akan mentjapai kehidupan jang adil dan makmur, pergaulan hidup jang aman dan tenteram, selama keadilan sosial sepandjang adjaran-adjaran Islam belum dapat berlaku, atau dilakukan mendjadi hukum dalam Negara kita, sekalipun sudah merdeka.
Terbukti sekarang, sekalipun Negara dan bangsa kita sudah merdeka dan berdaulat bernaung di bawah pandji-pandji sang merah putih, namun rakjat jelata jang berpuluh-puluh jumlahnja belum merasakan kenikmatan dan kelezatan hidup dan kehidupan sehari-harinja. Rakyat masih tetap menderita matjam - matjam kesukaran dan kemelaratan. Kekatjauan timbul dimana-mana. Perampokan penggedoran. Pentjulikan dan pembunuhan seolah-olah tak dapat diatasi oleh pihak (alat) pemerintahan.
Di kota-kota besar nampak pula kerusakan moral (budi pekerti) bangsa kita. Bukan sadja pelajturan jang meradjalela dari kota-kota sampai desa-desa, tetapi pihak jang dikatakan kaum terpeladjar, pemuda dan pemudi tak ada batas lagi pergaulan hidupnja, pergaulan jang merdeka. Pergaulan jang mempengaruhi alam pikiran pada kesesatan. Sumber-sumber pelatjuran telah menjadi pergaulan hidup yang modern. Kemadjuan jang mentjontoh dunia barat jang memang sudah rusak. Rusak budi- pekertinja dan rochaninja. Tak ada kendali didalam djiwa jang dapat menahan hawa nafsunja. Inilah semuanja yang oleh ketua Tjokroaminoto dikatakan Djahiliah modern.
Kalau alat-alat pemerintah RI jang memegang tampuk kekuasaan pemerintahan, baik pihak atasan maupun sampai bawahan sudah tidak takut lagi kepada hukuman Allah, jakinlah Negara akan rusak dan hantjur dengan sendirinja, sebab segala perbuatan djahat, korupsi, penipuan, suapan dan sebagainja jang terang terang merugikan Negara, dikerjakan dengan aman oleh mereka itu sendiri, rakjat mengerti sebab rakjat jang menjadi korban"



HOS Cokroaminoto tidak mau selamanya terbelenggu dengan status kebangsawanannya. Setelah menamatkan study di Oplayding School Foor Inladishe Ambegtenaren (OSVIA), sekolah pegawai pemerintahan pribumi Magelang, dia memang sempat mengikuti jejak kepriyayian ayahnya sebagai pegawai pangreh praja. Namun, akhirnya ia tinggalkan karena muak dengan kebiasaan sembah jongkok yang baginya sangat melecehkan.

Tahun 1905 Cokro pindah ke Surabaya dan bekerja pada perusahaan dagang, di samping ia juga belajar di sekolah malam Hogore Burger School. Bersama istrinya, Suharsikin ia mendirikan rumah kost di rumahnya. yang nantinya melalui rumah inilah Cokro menyalurkan ilmunya dalam agama, politik dan berorasi yang akhirnya menjadi cikal bakal pembentukan tokoh – tokoh penting di Indonesia. Seperti Soekarno yang Nasionalis, SM kartosuwirjo yang Islamis Dan Muso-Alimin yang Komunis.


R. A. Suharsikin adalah cermin wanita yang selalu memberikan bantuan moril, selalu menjadi kebiasaannya, jika suaminya bepergian untuk kepentingan perjuangannya, istri yang sederhana dan prihatin ini mengiringi suaminya dengan sholat tahajud, dengan puasa, dan do’a.

Perbedaan idiologi dari murid - muridnya tersebut secara tidak langsung memberikan warna sendiri bagaimana secara aktif ide-ide, ilmu dan gagasan Cokro menghujam kedada mereka. Walaupun dengan pemahaman yang beraneka ragam sesuai dengan latar belakang, pendidikan dan pekerjaanya masing masing. Jadi, pertarungan Soekarno, Kartosuwirjo dan Muso-alimin sejatinya adalah pertarungan tiga murid dari seorang guru Cokroaminoto. Hal ini mengisaratkan bahwa adanya perbedaan tafsir para murid terhadap guru dan kernudian mendorong kecenderungan yang berbeda pula.

Dalam beberapa hal, ide Islam Cokro lebih dipahami oleh Kartosuwirjo dengan Darul Islamnya, ia melanjutkan perjuangan yang telah dirintis oleh Cokro yakni menuntut Indonesia bersyariat. Dengan dasar itu ia akhirnya memproklamirkan Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949 di Jawa Barat, sebagai reaksi atas penghianatan Soekarno-Hatta terhadap piagam Jakarta.

Untuk merealisasikan perjuangan menuntut Indonesia bersyareat ia masuk ke dalam Sarekat Dagang Islam (SDI) yang saat itu dipimpin oleh H.Samanhudi di Solo, sebuah pergerakan pertama Indonesia yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Bukan Budi Utomo seperti yang diketahui saat ini, karena SDI lahir lebih muda yakni lahir pada tahun 1908 sedangkan SDI 1905 pendistorsian sejarah semacam ini jelas kejahatan yang dilakukan oleh musuh – musuh Islam untuk mengkaburkan perjuangan Indonesia bersyariat. Karena memang tujuan SDI adalah kemerdekaan dan pemberlakuan syareat Islam.


Semenjak masuknya ia kedalam SDI, SDI berubah menjadi sebuah organisasi yang besar dan menakutkan bagi kolonial. Kemahirannya serta kepiawaiannya berpolitik dalam menyuarakan kemerdekaan Indonesia dan memihak kepentingan rakyat membuat SDI begitu di gandrungi Rakyat pribumi. Terlebih setelah SDI berubah menjadi SI dan ia menjadi pemimpin SI. Lewat Cokro tujuan SI mulai di perjelas yakni kemerdekaan Indonesia dan pemberlakuan Syareat Islam bagi segenap lapisan rakyat.

Karena aktifitas politiknya, Belanda akhirnya menangkap Cokro pada tahun 1921 karena dikhawatirkan akan membangkitkan semangat perjuangan rakyat pribumi walaupun akhirnya dibebaskan pada tahun 1922, sebuah cobaan yang lazim diterima para penegak syariat islam di seluruh dunia. Pada tanggal 14-24 juni 1916 diadakanlah kongres Nasional pertama di Bandung. Di dalam kongres tersebut Cokro mengupas tentang pembentukan bangsa dan pemerintahan sendiri. Sebuah langkah yang sangat berani saat itu karena bagi rakyat pribumi kemerdekaan adalah hal yang tabu untuk disampaikan. Suatu langkah politik yang benar-benar berani. Cokro membangun opini rakyat yang belum mengerti politik untuk berpihak terhadap perjuanganya.
Yaitu menuntut Indonesia merdeka dan bersyariat Islam.

Di tengah pemerintah kolonial yang masih kuat apalagi saat itu Belanda masih menerapkan peraturan Reegerings Reglement(RR) sebuah peraturan yang berisi larangan berpolitik, berkumpul untuk membahas perjuangan kemerdekaan. Yang otomatis Cokro saat itu harus berhadapan dengan dua lawan yaitu Belanda dan Pangreh Praja yang menjadi kaki tangan Belanda. Pada tahun 1924, Cokro mulai aktif dalam komite –komite pembahasan kekhilafahan yang dicetuskan pemimpin politik Wahabiah Arab, Ibnu Saud. Sebuah langkah untuk memperkuat barisan menuju kemerdekaan dan kekhalifahan dunia.

Bagi Cokro, Islam adalah sesuatu yang harus di perjuangkan dan di persatukan,sebagai dasar kebangsaan yang hendak di proses menuju Indonesia. Tipikal Cokro, identik dengan AI-Afghani yang juga merupakan tokoh politik Pan-Islamisme (kebangkitan Islam). Cokro dan Afghoni juga sama-sama mengalami kegagalan dalam perjuangan Pan-Islamismenya. Namun, arti penting keduanya bukan pada kemenangan atau kekalahan. Keduanya menjadi penting karena menggulirkan momentum perubahan pemikiran dalam Islam. Keduanya juga menjadi ruh perjuangan bagi kepentingan politik Islam.

Ruh Cokro akan masih terus bergerak menjadi spirit perjuangan ketika islam diartikulasikan sebagai penggerak yang aktif, tidak statis. Yang mengatakan ,"Setinggitinggi ilmu, semurni-murni tauhid , sepintar-pintar siasat". Beliau wafat pada tanggal 17 Desember 1934 di Yogyakarta, dan dimakamkan di TMP Pekuncen,Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar