free counters

Kamis, 03 Maret 2011

SURO BODONG"TUMBAL MAHKOTA RATU" BAG 1

TUMBAL MAHKOTA RATU
1
Penghuni istana Kesultanan Praja menjadi gempar. Tubuh
Sendang Wangi melayang dalam keadaan terbaring tidur. Pintu
kamarnya terbuka sendiri setelah angin menderu dengan buas.
Bahkan hembusan angin sempat memporak-porandakan beberapa
barang. Tubuh Sendang Wangi bagai tersedot oleh suatu kekuatan
gaib dalam keadaan tertidur nyenyak.
Para pengawal dan penjaga di depan pintu kamarnya
menjadi tergagap-gagap melihat keanehan tersebut.
"Gusti Ayu terbang...! Gusti Ayu terbang...!! Tolong! Kejar
dia...! Kejar dia...!" beberapa pengawal berteriak. Ada yang membunyikan
kentongan tanda bahaya yang ditabuh berkali-kali. Semua
penghuni barak keprajuritan tersentak bangun dan berlarian.
Bahkan para perwira kesultanan, termasuk Demang
Sabrangdalu dan Patih Danupaksi juga ikut mengejar tubuh yang
melayang di tengah derasnya angin yang mengerikan. Sebatang
pohon di samping ruang paseban roboh, menimbulkan suara
berderak dan berdentam. Angin begitu kuatnya menghembus, bagai
mengamuk, menciptakan suatu topan yang dahsyat.
"Cegat, di luar benteng! Cepat, hadang di sana...!!" teriak Ki
Patih sambil berusaha bertahan karena tubuhnya hampir saja
dihempaskan oleh kekuatan hembusan angin.
Suatu kekuatan maha tinggi telah menculik istri Suro
Bodong. Pada saat itu, Suro Bodong dalam keadaan sedang
berkeliling mengadakan patroli malam, sehingga ia tidak tahu kalau
istrinya disedot oleh tenaga maha dahsyat.
"Jangan berjalan tegak...!" teriak Demang Sabrangdalu.
"Berjalanlah sedikit merendah biar tubuh kalian tidak dihempas oleh
angin setan ini...!!"
Para prajurit mengejar tubuh Sendang Wangi yang
melayang setinggi kepala manusia.
Tubuh itu melalui atas taman, lalu naik, dan melesat
perlahan-lahan melewati atap dapur.
"Siapkan beberapa orang untuk berdiri di atas benteng!"
teriak Danupaksi dengan berlari ke arah lain, menghadang gerakan
tubuh Sendang Wangi yang melayang tenang itu.
Beberapa orang yang menghadang di tembok atas benteng
ternyata kecele. Tubuh itu berhenti di udara, kemudian bergerak lagi
ke arah lain, seakan mencari jalan untuk melewati kepungan para
prajurit.
"Setan mana yang membuat gara-gara tengah malam
begini?!" kata Demang kepada Ki Patih. Matanya menyipit dengan
tangan menyilang di depan mata menahan derasnya angin.
"Cari sumbernya!" teriak Ki Patih mengatasi deru angin.
"Pasti ada orang yang sedang mengerahkan ilmunya untuk mencuri
Nyai Sendang Wangi…!!"
Sementara itu. Sultan Jurujagad sendiri ikut mengepung ke
arah tubuh Sendang Wangi melayang. Tetapi ia gagal menghadang,
karena tubuh putrinya itu melayang ke tempat lain lagi. Sultan
sempat berteriak kepada Patih Danupaksi:
"Paman Patih...! Cari tambang dan ikat tubuhnya sebisa
mungkin...!" Deru angin yang bergemuruh diimbangi dengan
teriakannya, sekari pun tidak memadai.
Seorang prajurit terlempar oleh hempasan angin gila itu
hingga kepalanya terbentur tiang dan bocor dengan suka rela.
Prajurit itu segera bangkit tanpa menghiraukan kebocoran di
kepalanya. Ia mengambil tambang dari barak keprajuritan.
Membuat suatu jerat lebar dan memutar-mutarkan sesaat, kemudian
tambang yang berbentuk kolong jerat itu dilemparkan ke tubuh
Sendang Wangi yang melayang.
Prajurit itu sepertinya sudah terbiasa menjerat kuda liar,
sehingga dengan sekali lempar, tali itu telah mampu menjerat tubuh
Sendang Wangi.
"Kena...! Tubuhnya kena kujerat...!" teriak prajurit itu.
Prajurit menarik, menahan tubuh yang telah terjerat. Tetapi
bagai ada kekuatan yang sungguh hebat, sehingga tubuh prajurit itu
pun menjadi terseret-seret.
"Tambah tenaga...! Cepat, tahan dia...!" teriak Patih
Danupaksi. Lalu, beberapa orang membantu prajurit tadi untuk
menahan agar tubuh Sendang Wangi tidak bergerak terus.
Tetapi, empat orang sudah ikut menahan, namun kekuatan
mereka tidak sebanding. Keempat orang itu bagai tersentak ke
depan dan menabrak pohon besar.
"Aaaoow...!!" teriak mereka.
Angin masih menderu dengan kuat dan makin menggila.
Patih Danupaksi segera bersalto beberapa kali ke arah tubuh
Sendang Wangi yang melayang semakin meninggi. Maksudnya
ingin memegangi kaki Sendang Wangi supaya tidak terbawa
terbang. Namun, tubuh patih segera terhempas kuat ke belakang
saat ia mendekati tubuh Sendang Wangi. Suatu kekuatan besar
melemparkan patih hingga jatuh ke kolam di taman keputren.
Demang Sabrangdalu dan Sultan Jurujagad segera
mengambil tambang yang masih menjerat tubuh Sendang Wangi.
Keempat prajurit itu sebagian pingsan, sebagian mengaduh
kesakitan. Mereka tidak dihiraukan oleh Demang dan Sultan.
Mereka berdua sibuk mengikatkan tambang pada sebuah pohon
yang tak cukup dipeluk oleh tiga orang.
"Ikat yang kuat, Ki Demang...!" perintah Sultan dengan
gugup. "Ikat kuat-kuat, jangan sampai lepas. Ini satu-satunya cara
menahan tubuh anakku...!"
Demang mengerahkan tenaganya untuk menarik tambang
kuat-kuat. Tambang telah dililitkan ke pohon, dan pohon besar itu
menjadi bergerak-gerak bagai ditarik oleh seratus ekor kuda jantan.
Sultan dan Demang serta beberapa orang yang ada di sekitar situ
menjadi cemas.. Tetapi Sultan dan Demang masih bertahan untuk
memegangi ujung tali, menahannya agar ikatan tali pada pohon
tidak lepas.
"Awas...! Pohon mau rubuh…! Minggir... minggir...!" teriak
beberapa orang yang melihat pohon mulai tersumbul akarnya dari
dalam tanah.
Demang Sabrangdalu tidak ikut lari tunggang-langgang,
melainkan justru mencoba menahan batang pohon. Dengan kaki
merendah dan tangan kiri menyangga batang yang hendak rubuh,
Demang menggerakkan tangan kanannya ke atas dan ditariknya
turun ke dada dengan otot dan tubuh yang mengeras. Ia berusaha
menahan gerakan pohon besar yang makin condong akibat tarikan
tambang yang terikat di tubuh Sendang Wangi.
"Hiaaaattt...!!" Demang berusaha sekuat tenaga sampai
wajahnya menjadi merah.
"Trass...!"
Akhirnya tambang itu pun rantas dan putus. Tubuh
Sendang Wangi yang tertidur nyenyak bagai terkena pengaruh sihir
itu masih melayang dan bahkan semakin tinggi. Pohon tak jadi
rubuh, hanya miring dengan sebagian akarnya mencuat ke atas.
Demang Sabrangdalu meninggalkan pohon tersebut. Ia berlari dan
bersalto ke arah tubuh Sendang Wangi.
Tetapi nasibnya sama seperti Ki Patih Danupaksi. Sebelum
ia menyentuh kulit tubuh Sendang Wangi, ia telah terpental dengan
hentakan keras, dan jatuh di rumpun bunga berduri.
"Aaaaahh...! Pinggangku... aduuh...!!"
Sultan Jurujagad mengeluarkan tombak pusakanya yang
bernama Kyai Jatayu. Sambil menggenggam tombak itu, sultan
mengejar raga putrinya yang melayang di atas benteng, sebagai
batas luar dan dalam istana kesultanan.
"Iblis...! Tampakkan wajahmu dan lawanlah aku!" teriak
Sultan Jurujagad dengan geram kemarahan. Tetapi, matanya yang
bergerak nanar itu sejak tadi tidak menangkap sosok tubuh orang
yang menggunakan ilmunya untuk mencuri Sendang Wangi dengan
kekuatan yang maha hebat. Tubuh Sendang Wangi masih melayang
pelan, sepertinya sengaja menggoda kemarahan orang-orang
kesultanan Praja.
Dengan kemarahan yang meluap. Sultan Jurujagad
melemparkan tombak Kyai Jatayu ke sembarang arah. Ia berseru:
"Kyai Jatayu... cari iblis itu dan bunuh dia...!!"
Tombak berwarna emas itu melesat tanpa tujuan. Tombak
itu mampu membelok ke beberapa tempat, bahkan menukik dan
bersalto balik juga bisa. Semua prajurit terkesima melihat tombak
pusaka sultan beraksi. Tombak itu bagai sedang mencari sasaran
kian ke mari, sampai akhirnya tombak itu berhenti bergerak di
depan sultan dalam posisi melintang.
Sultan Jurujagad mendengus kesal. Tombaknya tak mampu
memburu lawan yang sedang mempermainkan putrinya. Ia memandang
Sendang Wangi dengan perasaan sedih dan marah. Tubuh itu
berhenti di atas tembok benteng. Semua mata memandang dalam
kebingungan.
Eyang Panembahan mendekati Sultan Jurujagad dan
berbisik, "Ada suatu kekuatan yang tak dapat saya lacak sumbernya.
Sungguh hebat kekuatan itu, sehingga ia bisa bersembunyi tanpa
bisa dilacak dengan indra ke tujuh. Gawat ini, Kanjeng...!"
"Lalu bagaimana nasib Sendang Wangi itu...?!" gumam
sultan bagai hendak putus asa.
Baru saja Eyang Panembahan hendak bicara lagi, tapi tibatiba
Suro Bodong muncul dari pintu gerbang dan setengah berlari
mendekati sultan.
"Apa yang terjadi?! Kenapa jadi gaduh begini?!"
Sultan menjawab dengan berapi-api, "Istrimu...! Lihat, itu...!
Ada yang mempermainkan istrimu seperti itu!"
Eyang Panembahan menyahut, "Suatu kekuatan yang maha
hebat, tak bisa dilacak sumbernya...!"
Suro Bodong memandang dengan garuk-garuk kumisnya
yang tebal. Ia menggumam melihat istrinya tertidur di udara dengan
nyenyak. Bahkan sekarang kian bergerak lamban, menuju luar
benteng. Demang Sabrangdalu yang tubuhnya baret-baret karena
duri segera berteriak.
"Dia mau membawa Gusti Ayu...!! Lihat itu...!"
"Suro Bodong, bertindaklah...!" geram Sultan Jurujagad.
Suro Bodong bagai tidak menghiraukan seruan mertuanya.
Ia masih garuk-garuk kumis beberapa saat, kemudian segera
meludahi kedua telapak tangannya, masing-masing tujuh kali.
Kedua telapak tangan itu saling digosok-gosokkan beberapa saat.
Posisi berdirinya mulai merendah dengan kaki renggang.
Tiba-tiba kedua tangan Suro Bodong menghentak ke atas
kepalanya, arahnya ke langit. Dan bersama dengan itu, meledaklah
bunyi petir perak. Di sela-sela sinar putih perak itu melesat beberapa
kali sinar biru berkelok-kelok dengan bunyi ledakan yang mengguntur,
"Oh, dia menggunakah aji Tapak Naga...?!" Eyang
Panembahan yang mengetahui hal itu menjadi merinding ngeri.
Suro Bodong masih menengadahkan kedua tangannya ke atas kepala
dengan mata tak berkedip memandang langit.
Bunyi ledakan yang mengguntur itu sempat membuat
hembusan angin semakin kencang seperti topan mengamuk. Lalu,
tanah tempat mereka berpijak itu pun terasa bergetar. Tanamantanaman
ikut bergetar menimbulkan suara gaduh. Daun-daun mulai
berhamburan, rontok. Semua orang tercekam kengerian. Salah
seorang berbisik takut kepada temannya:
"Apakah ini mau kiamat, ya Kang...?!"
"Entahlah. Mengapa tanah ini menjadi gemetar seakan
hendak meledak...! Oh, aku takut sekali...!"
Ada beberapa orang yang saling berpegangan untuk
menjaga keseimbangan, ada yang merangkul pohon atau tiang
untuk bertahan. Bunyi ledakan itu masih bersahut-sahutan. Dan
setiap ledakan memancarkan api di angkasa yang membuat langit
membara bagai terpanggang matahari.
Suro Bodong berseru, "Kembalikan istriku!! Atau
kuhancurkan nyawamu...?!"
Bumi masih bergetar, langit memerah sesekali dan kilatan
cahaya biru masih bersimpang -siur bagai benang-benang api yang
menjilat kian ke mari. Tiba-tiba, di langit muncul wajah yang samarsamar.
Wajah seorang perempuan berambut panjang namun
disanggul ke atas, hingga sisa rambutnya terjuntai ke dada kiri.
Wajah itu samar-samar, sepertinya dibungkus kabut putih. Semua
orang berusaha untuk memandangnya dengan jelas, namun tak ada
yang berhasil memperjelas penglihatannya.
"Kembalikan istriku, iblis...!!" bentak Suro Bodong dengan
kedua tangan masih menengadah ke atas.
Lalu terdengar suara orang bicara dalam gema:
"Kami butuh tumbal seorang anak raja...! Dan perempuan ini
telah terpilih sebagai tumbal kami...! Siapa menentang, akan mati...!"
Suara itu menyerukan sebuah gema yang kian lama-kian
mereda dan hilang. Bersamaan hilangnya suara, wajah yang terlihat
samar-samar itu pun hilang. Kemudian, semua orang menjadi
tegang, dan sangat tegang.
"Gusti Ayu akan menjadi tumbal...?!" kata-kata itu hampir
terlontar di setiap mulut prajurit dan pegawai istana. Sultan
Jurujagad sendiri kebingungan, memandang Suro Bodong dengan
tenang.
"Bangsat itu harus kubunuh...!!" geram Suro Bodong.
Ketika ia hendak bergerak, tubuh Sendang Wangi telah
melesat lebih dulu, menjauhi benteng kesultanan. Suro Bodong
menghentakkan kakinya dan melejit bagai terbang ke tembok
benteng. Baju merah lengan panjang yang tak pernah dikancingkan
itu mengiringi kepergiannya, seperti sayap rajawali menepak-nepak.
Ketika kaki Suro Bodong berhasil mendarat di tembok benteng,
tubuh Sendang Wangi telah melesat jauh. Terpaksa ia mengejarnya
dengan bersalto beberapa kali. Kecepatan saltonya sangat
mengagumkan setiap orang yang memandangnya. Karena itu
berarti Suro Bodong telah menggunakan jurus Luing Ayan 1 sampai
Luing Ayan 7, dan diulang berkali-kali. Padahal, setiap ia bersalto di
udara, tubuhnya akan berubah ujud, sesuai dengan putaran
saltonya. Apabila ia bersalto dua kali, maka ia akan berubah menjadi
Arum Sajen, bersalto 3 kali berubah menjadi Tole, bersalto 4 kali
berubah menjadi seekor kera... dan begitu seterusnya sampai tujuh
kali putaran salto ia mampu berubah ujud tujuh kali untuk mengejar
istrinya yang terbawa oleh kekuatan dahsyat itu, maka tubuh yang
bersalto itupun berubah-ubah dengan cepat sehingga bagi orang
yang melihatnya akan terkagum-kagum, karena perubahannya yang
cepat itu seperti perubahan rangkaian burung yang terbang dengan
berbagai gaya.
Suro Bodong tidak perduli lagi dengan orang-orang
kesultanan Praja. Matanya masih tertuju pada gerakan Sendang
Wangi yang terus melayang dalam posisi tidur terlentang nyenyak
sekali. Suro Bodong bergerak mengejar raga istrinya dengan mulut
menyumpah-nyumpah tak karuan.
Gerakan raga Sendang Wangi terasa melayang lebih cepat.
Suro Bodong tertinggal jauh, ia tambah kebingungan dan sepertinya
tak tahu apa yang harus dilakukan, kecuali mengejar dan mengejar
terus ke arah melesatnya raga istrinya. Ia tak kenal lagi di mana dia
saat itu, sampai akhirnya ia menghentikan gerakan karena tubuhnya
yang melayang itu bagai dihantam sebuah gada besar yang
membuat Suro Bodong keliyengan.
Tubuhnya yang besar namun tidak gemuk itu terpental
menghantam batang pohon. Ia dapat menjaga kepalanya agar tak
sampai terbentur, tetapi perutnya yang sedikit membuncit dengan
puser yang nongol keluar itulah yang menghantam batang pohon.
"Huuggh...!!" Suro Bodong menyeringai kesakitan. Mules
perutnya, sesak pernafasannya. Ia jatuh ke tanah seperti nangka
busuk. Ia bahkan sempat terpekik, "Aaoww...!!" karena pantatnya
tertusuk ranting runcing. Untung tak sampai menancap di daging
pantat itu, sehingga Suro Bodong dapat segera bangkit dengan
tangan meraba-raba pantat dan tangan yang satu mengusap-usap
perutnya. Wajahnya masih menyeringai kesakitan. Meringis seperti
anak kehilangan makanannya. Celana biru yang longgar itu
diperhatikan sekali lagi, oh... untung tidak sempat robek. Namun
pada saat ia hendak memandang ke depan lagi, mencari sumber
pukulan yang tadi menjatuhkan dirinya itu, tiba-tiba sebuah kaki
mulus menendang wajahnya dengan keras. "Iyaaaoouww...!!"
Suro Bodong menjerit keras, antara kaget dan kesakitan.
Tubuhnya yang besar, bukan gendut itu, terpelanting ke belakang
dan sekali lagi punggungnya menghantam pohon. Tepat mengenai
salah satu bagian pohon yang menonjol sebesar genggaman
tangannya. "Uuhhff...!!" Suro makin meringis.
Ia segera mengibaskan rambutnya yang panjangnya
sepundak, namun tidak terawat itu. Ia sengaja mengikat rambutnya
dengan ikat kepala warna merah, yang ternyata membuat
penampilannya semakin diperhitungkan oleh setiap lawannya.
Seperti kali ini, ia berhadapan dengan seorang perempuan cantik
bertubuh lencir, ramping. Perempuan itu berhenti menyerang
karena memandang kain merah yang diikatkan pada kepala
berambut panjang itu. Perempuan itu langsung berkata:
"Kau pasti orang andalan Sultan Jurujagad, bukan?!"
Suro Bodong menahan nafas sejenak, lalu menghembuskan
pelan-pelan guna memperoleh ketenangannya kembali. Matanya
yang sedikit lebar itu memandang acuh tak acuh kepada perempuan
berpakaian biru muda yang menyelipkan senjata cakra di pinggang.
"Siapa kau? Kenapa kau tahu-tahu menyerangku?!" bentak
Suro Bodong.
"Aku yang berhasil kau singkap dari persembunyianku
lewat ilmu Tapak Nagamu itu. Aku Laras Peri...!" perempuan itu
menyunggingkan senyum tipis, berdiri dengan tenang dan kedua
tangannya memegangi ikat pinggang di bagian perut. Ikat pinggang
itu terbuat dari kain panjang yang pantas dikatakan sebagai
selendang panjang. Karena jika dikatakan sebagai angkin terlalu
pendek ukurannya. Warna kain itu kuning, sama dengan ikat
pinggang yang dikenakan Suro Bodong.
"Baru sekarang ada orang bisa menyingkap kabut
persembunyianku. Menurut guruku, kabut pelapis diri itu hanya
bisa disingkap oleh ilmu Tapak Naga. Rupanya kaulah pemilik ilmu
Tapak Naga. Uhh... hebat juga kamu, ya?"
Suro Bodong sudah berhasil menguasai diri sehingga ia
lebih berpenampilan tenang.
"Kalau begitu, gurumu pasti mengenal Suro Bodong! Siapa
gurumu itu sehingga ia tahu ilmuku?!" tanya Suro Bodong sedikit
curiga.
"Itu tak perlu kau tanyakan, Suro Bodong. Yang penting kau
ketahui, kau harus segera pulang supaya kau bisa hidup sampai
hari-hari tuamu nanti. Kalau kau nekad mengikuti aku, kau akan
mati dengan mendadak!" ancam Laras Peri.
"Kau memang perempuan cantik, Laras Peri. Tapi jangan
gede rasa dulu. Aku tidak mengikutimu! Aku mengikuti istriku.
Sendang Wangi, putri Sultan Praja itu. Aku tak mau istriku
dijadikan tumbal dengan alasan apa pun. Kecuali istri orang lain,
terserah. Tapi jangan istriku."
Laras Peri makin sinis saja senyumnya. Ia berjalan pelan,
bergerak ke samping dengan memandang Suro dalam lirikan yang
sebenarnya memukau hati: Tapi Suro Bodong berlagak tidak
mempunyai perasaan apa-apa. Ia garuk-garuk kumisnya dengan
telunjuk, sambil memperhatikan gerakan Laras Peri dalam sikap
tenangnya.
"Laras Peri... sayangilah kecantikanmu itu. Jangan sampai
wajah cantik itu bonyok oleh siksaanku jika kau tak mau
menyerahkan Sendang Wangi padaku!" Suro menggertaknya. Tapi
Laras Peri bukan anak kemarin sore yang takut akan gertakan
seperti itu. Ia bahkan berkata:
"Sebelum kau membuat wajahku bonyok, kurasa kau akan
kehilangan nyawa lebih dulu, Suro Bodong...! Ciaaat...!!"
"Hei, kau...?!"
Suro Bodong tak sempat bicara karena tiba-tiba Laras
melompat seperti macan terbang. Kedua tangannya merenggangkan
jari yang berkuku tajam kendati tidak panjang. Gerakan kedua
tangan yang lurus itu tiba-tiba saling merobek ke kanan dan kiri.
Hampir saja wajah Suro Bodong menjadi sasaran ketajaman kuku
Laras Peri. Ia segera menghentakkan kepala ke belakang sambil kaki
kanannya melesat ke atas, dan mengenai perut Laras Peri.
"Aauh...!!"
Laras Peri mengaduh dengan gerakan tubuh membalik,
bersalto di udara. Begitu ia mendarat, kaki kanannya mengibas
seperti seekor kuda menyepak batok kelapa. "Wess...!"
Tendangan itu berhasil dihindari Suro Bodong dengan cara
merendahkan kepala. Namun bertepatan dengan kepala Suro
merunduk. Laras Peri menghentakkan telapak tangannya hingga
mengeluarkan percikan api dari telapak tangan itu. Percikan api
mengenai punggung Suro Bodong, lalu Suro Bodong menjerit bagai
tersiram air panas. Ia terguling-guling di tanah. Pinggangnya seperti
patah seketika.
Suro Bodong bertahan memendam rasa sakitnya, ia
bergegas untuk berlari. Tetapi baru saja ia berdiri dengan lutut,
tahu-tahu tangan Laras Peri memercikkan api lagi ke arahnya. Suro
buru-buru menjatuhkan diri, terlentang. Tapi ia sedikit terlambat,
karena percikan api itu telah sebagian mengenai ujung pundaknya,
sehingga tulang di ujung pundak itu bagai dihantam dengan palu
godam.
"Aaouuw...!!"
Suro Bodong kelojotan. Ia berusaha berguling ke kiri
beberapa kali. Laras Peri mengejarnya dengan tendangan yang satu
kali mengenai dagu Suro Bodong, dan yang kedua berhasil
ditangkap oleh tangan Suro Bodong. Tangan itu bergerak cepat
memulir pergelangan kaki Laras Peri, hingga perempuan itu menyeringai
kesakitan.
Tetapi, tanpa diduga-duga, dari ujung ibu jari kaki Laras
keluarlah jarum warna kuning emas. Jarum itu melesat cepat dan
menancap di telinga Suro Bodong. Kontan Suro menjerit keras dan
kesakitan. Ia buru-buru menghentakkan punggungnya yang sakit
itu untuk bisa berdiri. Lalu, ia buru-buru mencabut dua jarum yang
menancap di daun telinganya.
"Bangsat kau...! Hihhh...!!" Suro Bodong melemparkan
kedua jarum emas ke arah Laras Peri yang hendak menyerangnya
dengan cakar mautnya. Ia pun menjerit kesakitan ketika kedua
jarum itu menancap di telapak tangan kirinya.
"Uuuhh...!! Setan belang kau...! Hiaaaat...!!"
Suro Bodong menangkis tendangan kaki Laras Peri dengan
kibasan tangan kirinya. Tendangan itu meleset dan kaki tersebut
berhasil terpelanting ke samping. Segera Suro Bodong
memanfaatkan jurus Tendangan Ayam Kawin. Tubuh Laras yang
sempat terpelintir sedikit akibat kakinya terpental oleh kibasan
tangan Suro tadi dimanfaatkan untuk menjadi sasaran jurus
Tendangan Ayam Kawin. Suro Bodong melancarkan tendangan ke
pinggang Laras dengan cepat sebanyak tujuh kali, lalu kaki kirinya
menyusul menendang beruntun dengan tendangan ke arah
punggung Laras. Dan sekali lagi kaki kanan Suro Bodong menghentak
keras beruntun tujuh kali ke arah rusuk Laras Peri.
Perempuan itu hanya mengerang beberapa kali, tapi tidak
rubuh karena tendangan itu. Sebaliknya, ia justru semakin garang
dan ganas. Ia mencabut senjata cakranya, berupa lempengan
bergerigi dengan gagang berbentuk huruf L. Lempengan baja
bergerigi itu sebesar tutup cangkir, tetapi ada jurus yang dipermainkan
sehingga membuat benda seperti gir sepeda itu
berputar sendiri.
Laras Peri mengacungkan senjatanya ke arah Suro Bodong.
Saat itu, Suro hanya berdiri dengan kaki renggang dan siap
menerima serangan lawannya. Tanpa diketahui olehnya, bahwa
gerakan gerigi yang berputar makin cepat dan menimbulkan suara
desing itu telah berhasil menciptakan suasana lain.
Udara di sekitar Suro Bodong menjadi dingin, lama-lama
kedinginannya mencekam tulang. Suro sempat melihat beberapa
daun di sekitarnya menjadi layu, kemudian putih perlahan-lahan.
Suro Bodong baru sadar bahwa warna putih yang menempel pada
daun itu tak lain dari busa-busa salju yang dingin. Suro Bodong
melihat lengannya sendiri sudah menjadi seperti lengan mayat,
putih dan berbintik-bintik bagai dihinggapi serat-serat kapas.
"Heaaaaatt...!!" Suro Bodong menggerakkan kedua
tangannya tak karuan, ke sana-sini untuk memperoleh udara panas
dalam tubuhnya. Senjata cakra itu semakin berputar kencang. Laras
Peri hanya tersenyum tipis seraya berkata:
"Tak ada yang pernah bisa lolos dari jurus Cakra Pembeku
ini, Suro... termasuk kau pun akan mati dalam kedaan tetap segar
bugar...!"
"Heaaat...!! Heaaaahh...!! Huaaat...!" Suro Bodong loncat
sana-loncat sini dengan tangan bergerak hendak menghantam Laras.
Namun ia sendiri mengakui bahwa gerakan tubuhnya menjadi berat
dan kaku. Sampai akhirnya ja benar-benar sadar bahwa beberapa
jarinya tak dapat ditekuk lagi. Tubuhnya menjadi semakin putih dan
berbintik-bintik, ia menggigil dalam keterbengongannya.
Dengan susah payah, Suro menggerakkan tangannya dan
membuka telapak tangan untuk diludahi. Tapi pada saat itu, Laras
Peri menjerit kesakitan dengan tubuh tersentak melayang, lalu
menabrak pohon. Suro terperanjat. Siapa yang telah menyerang
Laras Peri itu? Bahkan kini pelipis perempuan itu berdarah, dan ia
sangat kebingungan.
2
Seorang lelaki tua bertubuh kurus berdiri di depan Suro
Bodong. Ia mengenakan kain merah yang hanya disilangkan di dada
melalui pundak kanannya. Lelaki kurus, tinggal kulit dengan tulang
itu jelas berusia lebih tua dari Suro Bodong. Rambutnya yang putih
digelung pada bagian atasnya, sedangkan sisanya dibiarkan terurai
sebatas punggung. Kendati kurus dan tua, namun lelaki itulah yang
berhasil membuat Laras Peri lari terbirit-birit karena serangannya
yang cepat dan beruntun itu.
"Siapa kau? Kenapa kau ikut campur urusanku, hah...?!"
geram Suro Bodong setelah hawa dingin tidak mencekamnya lagi.
"Apakah kau belum mengenal ciri-ciri orang seperti aku?"
"Aku tidak pernah perduli dengan orang kurus," kata Suro
Bodong kurang bersahabat.
"Aku Empu Segah."
"O, kamu yang bernama Empu Segah, ahli pusaka dari
gunung Sembur itu?"
"Benar," jawab Empu Segah tanpa tersenyum.
"Sakti juga kamu, ya? Laras Peri bisa lari terbirit-birit begitu
mendapat serangan darimu."
"Dia lari bukan karena aku, manusia tolol! Dia lari karena
jarum emas yang kau lemparkan dan menancap di telapak
tangannya."
Suro Bodong mengerutkan dahi, ia baru ingat tentang jarum
emas yang meluncur dari jempol kaki Laras Peri.
"Ada apa dengan jarum itu?" Suro bertanya segan-seganan.
"Dia harus segera mengambil penangkal racun jarum emas
itu. Karenanya, ia segera lari, tak mau terlambat...!"
"Kalau begitu aku harus segera lari mengambil istriku dari
tangannya...!"
Dengan hentakan satu kaki, Suro Bodong melompat pergi.
Tetapi Empu Segah segera menghadangnya, lalu dengan gerakan
tangan kanan, Empu Segah menghentakkan tubuh Suro yang
melesat. Suro Bodong terjengkang ke belakang dalam posisi jatuh
terduduk. Ia meringis karena pantatnya terbentur batu sebesar
tinjunya.
"Uuuhff...! Kunyuk...!" cacinya sambil berdiri dengan
peringas-peringis. Ia mengusap-usap pantatnya.
"Kuingatkan padamu, Suro Bodong... jangan pergi ke sana!"
kata Empu Segah yang agaknya tadi sudah mendengar nama Suro
Bodong waktu Laras Peri mengenalkan dirinya.
"Persetan dengan kau, kakek keriput...!"
Suro Bodong melesat ke atas pohon, lalu dari atas pohon ia
melompat ke pohon yang satunya. Dengan cara begitu maka Empu
Segah tak bisa menghalangi langkahnya. Tetapi, tiba-tiba tubuh Suro
Bodong bagai ada yang menyedot ke bawah hingga ia terjatuh dari
atas pohon. Anehnya, gerakan tubuh yang jatuh itu tidak secepat
jika orang jatuh pada umumnya. Gerakan tubuh itu sangat lamban,
seakan hanya merendah dalam posisi kaki ke atas keduanya. Kalau
saja gerakan jatuh itu tidak lamban, maka sudah pasti tulang punggung
Suro akan patah seketika itu.
"Kau belum bisa menandingi Laras Peri. Apa lagi gurunya.
Aku yakin kau akan ditungging-tunggingkan jika nekad pergi ke
Istana Awan."
"Apa perdulimu...!" geram Suro Bodong sambil berdiri. "Aku
harus merebut istriku. Aku tidak mau istriku jadi tumbal di tempat
mereka. Kalau istrimu yang dijadikan tumbal, terserah. Yang
penting, aku tak mau kehilangan Sendang Wangi!"
Empu Segah menghadang langkah Suro...
"Jangan nekad!"
"Jangan menghalangiku, minggirlah...!"
"Batalkan niatmu!"
"Kakek bandel..." geramnya. "Hiaaat...!!"
Suro Bodong menyerang dengan pukulan tangan kanan,
tapi dengan cepat Empu Segah mengibaskan tangan kirinya hingga
pukulan Suro ditangkisnya. Suro tidak tinggal diam, ia segera
melayangkan pukulan tangan kirinya, seakan hendak menghantam
dada Empu Segah. Lelaki tua itu menangkis, tapi gerakan tangan
Suro justru menekuk ke atas, dan dagu Empu Segah berhasil
dipukulnya dengan pergelangan tangan. Empu tergeragap sebentar.
Kesempatan itu digunakan untuk memukul rusuk Empu Segah oleh
Suro Bodong. Kakek tua itu menyeringai menahan sakit. Dan Suro
Bodong segera kabur ke arah hilangnya Laras Peri tadi. Gerakan
Suro sengaja dipercepat agar tak tersusul Empu Segah. Tapi... buruburu
ia menyadari kalau gerakan larinya itu tidak mencapai tempat
di depannya. Ia lari dalam keadaan tetap di tempat. Ia berhenti dan
berpaling; oh... ternyata Empu Segah telah menahannya dengan
tenaga dalam yang berat dan membuat Suro tidak dapat melaju.
Empu Segah mengulurkan tangan kirinya dengan tangan kanan
melintang di depan dada. Kaku dan gemetar. Itulah jurus menahan
gerakan dari jauh. Dan pada saat Empu Segah menghentakkan
tangan kirinya ke belakang, tubuh Suro Bodong ikut tertarik dan
melesat kembali ke tempatnya, di depan Empu Segah.
Sudah tentu hal itu membuat Suro Bodong sangat dongkol.
Waktu Empu Segah berkata:
"Jangan menyusulnya sekarang...!"
Suro Bodong tak menjawab, kecuali menghentakkan
kakinya ke depan, menendang Empu Segah. Tetapi gerakan kaki
Empu Segah pun bersamaan diadu oleh tendangan Suro Bodong.
Suro Bodong terpelanting ke belakang dan menggeloyor. Empu
Segah menyusulkan pukulan ke dada Suro Bodong yang tak sempat
dilihat oleh mata Suro. Tahu-tahu pukulan itu menyesakkan
pernafasan. Suro Bodong sempat terbatuk-batuk. Empu Segah berkata:
"Ikutlah aku, dan aku akan menolongmu, Suro."
"Brengsek kau, kakek ceking!" umpat Suro yang sudah
terlanjur jengkel.
Tangan Suro Bodong mengibas ke samping bagai ia hendak
memotong pohon pisang. Empu Segah menahan gerakan tangan itu
dengan dua jari kanannya. Lalu, begitu tangan Suro sudah tertahan,
ia memutar jari tersebut dan menghentakkan pada salah satu bagian
tangan itu, dekat dengan sendi sikunya. Jari tangan menotok jalan
darah di lengan Suro Bodong, dan hal itu membuat Suro Bodong tak
mampu bergerak banyak, kecuali menggerakkan kepala dengan
indranya, dan salah satu kaki kirinya dengan gerakan masih kaku.
"Hei, apa-apaan ini" Kau ini musuhku atau...."
"Aku ingin menolongmu, Suro Bodong! Tapi, aku tahu kau
tidak cukup mampu, melawan orang-orang dari Istana Awan. Kau
akan mati sia-sia jika sekarang juga kau ke sana!"
"Mau mati atau hidup, itu bukan urusanmu, melainkan
urusan paru-paruku, tahu?! Aku harus ke sana sekarang juga
sebelum terlambat istriku dijadikan tumbal!"
"Tidak. Kau tidak akan terlambat. Percayalah! Mereka hanya
akan memanfaatkan korban jika sudah tidak ada sinar bulan sedikit
pun."
Suro Bodong diam. Ingin menggaruk kumisnya tak bisa,
karena semua tangan dalam keadaan kaku.
"Empu Segah...! Tolong bebaskan totokan jalan darahku ini,
dan mari kita bicara empat mata...!" kata Suro yang mulai
menampakkan nada pasrahnya.
"Kau harus berjanji untuk tidak lari, Suro."
Sehela nafas dihempaskan lepas. Kesal sekali hati Suro
Bodong menghadapi kakek kurus ceking itu.
"Baiklah. Aku berjanji tidak akan lari. Tapi, lepaskan dulu
pengaruh totokanmu ini. Empu Segah...!"
"Baik. Tapi ingat, kalau kau lari dan menipuku, kau akan
mati di tempat jauh. Aku dapat membunuhmu dari sini di mana pun
kamu berada Suro."
"Silahkan. Dan aku tidak akan ingkar dari janjiku!"
Empu Segah menghantam tulang rusuk Suro Bodong
dengan kedua jarinya. Begitu jari itu telah menghantam kuat-kuat,
maka Suro Bodong pun meringis dan kedua tangannya bisa
digerakkan lagi.
Tak ada pilihan lain bagi Suro kecuali ikut Empu Segah ke
pondokannya, di lereng gunung Sembur. Memang, mulanya Suro
Bodong menolak ajakan Empu Segah untuk ke gunung Sembur,
tetapi setelah Empu Segah berkata:
"Telingamu harus diselamatkan, Suro. Apa kau tak ingat
telingamu yang terkena jarum emas Laras Peri itu?"
"Aku ingat. Tapi... tidak apalah. Tidak terasa sakit lagi.
Tubuhku mampu menolak racun yang ganas," kata Suro dengan
garuk-garuk kumisnya.
"Racun yang ini berbeda dengan racun yang pernah kau
kenal, Suro. Rabalah telingamu itu...."
Suro Bodong dengan malas meraba daun telinga kirinya.
Ternyata ia sempat terbelalak kaget. Daun telinganya menjadi kecil
dan berkerut kriting.
"Telingaku...?! Jadi kecil?!"
"Racun itu mengisap semua benda yang dikenainya. Pohon
beringin yang besar akan menjadi kerdil sampai sekecil pohon toge,
jika terkena racun Jarum Malaikat," ujar Empu Segah yang kelihatan
cukup menguasai di bidang senjata dan pusaka beracun. "Setelah telingamu
yang mengkerut dan menjadi kecil, lalu hilang... maka
kepalamu pun akan menjadi mengkerut dan kecil. Bahkan seluruh
tubuhmu nanti akan menjadi kecil karena pengaruh racun Jarum
Malaikat."
Sekarang baru sadar Suro, bahwa Laras Peri tadi kabur
bukan karena enggan menghadapi Empu Segah, melainkan ingin
segera memperoleh penawar racun jarumnya sendiri. Kalau ia tidak
segera memperoleh penawar itu, maka tangannya akan menjadi
kecil dan tak berfungsi lagi.
Suro Bodong manggut-manggut, lalu dengan gerakan cepat
ia mengimbangi lompatan Empu Segah yang seperti terbang itu.
Mereka menuju gunung Sembur, tempat Empu Segah tinggal
bersama beberapa pusaka atau senjata ciptaannya.
Rumah yang dikatakan Pondok Sembur itu cukup besar
untuk ukuran satu orang. Terbuat dari belahan kayu-kayu jati yang
rapat dan tersusun rata sebagai dindingnya. Pondok Sembur itu
berbentuk rumah panggung berlantai kayu juga. Ruang dalamnya
tanpa kamar penyekat. Lebar dan luas. Hanya saja ada bagianbagian
di mana untuk tidur, di mana untuk duduk-duduk dan lain
sebagainya. Tempat itu amat sunyi. Sepi sekali.
"Suro, sebelum kita bicara panjang lebar, mari kusembuhkan
dulu racun di telingamu itu...!" kata Empu Segah.
Hati Suro lega mendengar kesanggupan Empu Segah. Tetapi
ia jadi terperanjat kaget ketika melihat Empu Segah mengeluarkan
seekor ular sebesar kelingking dari kandang yang ada di belakang
rumah. Ular itu berwarna merah cabe, dan panjangnya lebih dari
lima jengkal.
"Mari, mendekatlah, Suro...."
Bibir Suro kelihatan gemetar sambil mengusap-usap
telinganya. "Apa maksudmu memegang ular Sanca Welang begitu?
Aku tahu, Sanca Welang jika menggigit orang akan mematikan
orang tersebut dalam tiga hitungan, Kek."
"Justru telingamu harus digigit ular ini, Suro."
"Edan...!" gerutu Suro. "Orang-orang akan lari terbirit-birit
jika melihat ular Sanca Welang, ini malah aku sengaja digigitkan
ular jahat itu. Apa-apaan kau...?"
"Suro... mendekatlah. Jangan mundur-mundur begitu!"
"Tidak! Aku tidak mau digigit ular seganas itu. Jangankan
digigit, melihat pun tidak berminat aku...!"
"Hanya bisa dari ular ini yang dapat menawarkan Jarum
Malaikat itu Suro. Ayolah... Sebelum racun Jarum Malaikat itu
merambat mengkerutkan kepalamu, tawarkanlah lebih dulu dengan
racun ular ini...."
Suro Bodong serba salah dan kebingungan. Ia meraba daun
telinganya yang kiri. Oh... semakin mengkerut saja. Kecil. Sebesar
jempol tangannya. Wah... gawat. Suro tak sanggup membayangkan
bagaimana rupanya jika kepalanya pun mengkerut sekecil jempol
tangannya. Sudah jelas, sulit mengenakan ikat kepala, dan mungkin
ia tak akan bisa garuk-garuk kumis lagi.
Ketika sedang termenung membayangkan kengeriannya,
tahu-tahu kaki Empu Segah merangkul leher Suro, dan
menggamitnya kuat-kuat, dan menariknya ke bawah dengan cepat.
"Hei, hei...! Jangan begini caranya, aaauhh...!"
Suro Bodong berteriak ketika telinganya terasa digigit oleh
ular Sanca Welang. Panas sekali rasanya. Dan kaki Empu Segah pun
melepaskan jepitan lehernya.
"Aaooww...!! Aaaahww...!"
Suro Bodong berteriak-teriak sambil berguling-guling di
tanah. Empu Segah membiarkan. Ia bahkan berjalan dengan tenang
meninggalkan Suro Bodong, memasukkan ular merah cabe itu ke
dalam sangkarnya. Lalu, ia kembali lagi menyaksikan Suro Bodong
gulung-koming di pelataran pondoknya. Tubuh Suro Bodong
mengejang-ngejang, berkeringat dan menjadi pucat. Membiru.
Sekali pun Suro Bodong berteriak minta tolong sambil
kelojotan di tanah. Empu Segah hanya mengelus-elus jenggotnya
yang panjang sebatas dada berwarna putih. Semua cacian, kata-kata
kotor, terlontar dari mulut Suro Bodong. Apalagi setelah Suro
Bodong menyadari bahwa telinganya yang digigitkan ular itu
menjadi bengkak dan sakit disentuhnya. Suro mencaci maki Empu
Segah tak ada habis-habisnya. Namun yang dicaci hanya diam, memandang
alam sekeliling yang tipis akan hutan dan tanaman tinggi.
Hanya ada beberapa batang pohon yang ada di sekitar Pondok
Sembur, dan hal itu membuat pemandangan ke bawah semakin
jelas, enak dinikmati.
Beberapa lama setelah itu, Suro Bodong tidak terdengar
suaranya lagi. Ia lelap, setengah pingsan. Ia mengerang dengan
tubuh menggigil. Kemudian Empu Segah membawanya ke dalam
dengan setengah diseret. Suro Bodong dibaringkan di sebuah tikar
tebal berlapis daun-daun pandan kering.
"Aku haus... aku haus...!" Suro Bodong mengerang lemas.
Empu Segah memberikan minuman kepadanya seraya
berkata, "Peganglah telingamu itu... sudah membesar lagi, bukan?"
"Ohh... oouh... tapi sakit jika tersentuh apa pun, Kek."
"Lebih baik sakit sesaat dari pada kecil selamanya, bukan?"
"Aku... aku apakah bisa sembuh lagj... uuh?!"
"Racun Sanca Welang sedang melumat habis racun Jarum
Malaikat. Keduanya akan menjadi tawar dan meleleh berupa cairan
hitam dari bekas gigitannya tadi..."
"Waduuohh...! Tapi lain kali jangan melakukan
penyembuhan dengan cara asal gigit begini, ah...! Uuh... sakitnya
tidak tahan aku...!"
"Usahakan tidur sesaat untuk mengurangi rasa sakit."
Empu Segah keluar pondok sampai beberapa lama. Suro tak
ingat lagi. Pandangannya tadi kabur, suram. Lalu ia pun tertidur.
Dan ketika bangun, pertama-tama yang dilihatnya adalah sinar dari
lampu minyak yang menempel pada salah satu saka menyangga
atap rumah. Ia menggeliat dengan suara erangan tipis.
Oh, tubuhnya jadi terasa ringan sekali. Gerakannya enteng.
Begitu pula dengan nafasnya, sangat lega. Segar sekali badannya
ketika itu. Ia mencoba meraba telinga kirinya dengan hati-hati. Wah,
telinga itu telah menjadi seperti biasa. Sama dengan daun telinga
yang kanan. Juga tidak terasa sakit lagi disentuh.
Ia bergegas bangun, astaga... Empu Segah mendengkur
dengan nyenyaknya. Agaknya hari sudah lewat tengah malam.
Karena sebentar kemudian ia mendengar cicit burung dan suara
ayam berkokok di kejauhan sana. Samar-samar sekali terdengarnya.
O, oh... rupanya bukan tengah malam lewat saja, tapi
memang sudah pagi. Suro Bodong membuka jendela samping, dan
ia sempat melihat langit memerah dengan bias sinar di ufuk Timur
yang membara. Itulah sang surya yang hendak bangun dan
peraduannya. Segar sekali udara di luar. Suro Bodong pun keluar
dengan pelan-pelan agar tidak membangunkan tidur Empu Segah.
Di pekarangan Pondok Sembur, ia merentangkan tangannya
dan menghirup udara pagi yang dingin menyegarkan itu. Sekujur
badannya benar-benar nyaman, nafasnya pun sungguh lega dan
menghirup udara pagi yang segar sebanyak-banyaknya. Suara cicit
burung menambah kesegaran bagi otak Suro Bodong di pagi itu.
Hanya saja, sewaktu ia masih merentangkan tangannya
lebar-lebar, tiba-tiba ada anak panah yang melesat terarah ke
dadanya. Seketika itu pula Suro Bodong melompat ke samping
sambil tangan kirinya bergerak melambai, menangkap anak panah
tersebut. "Jaab..!!"
Suro segera bangkit dengan lutut bertumpu pada tanah.
Pada saat itu, punggungnya terasa dihempas angin tipis yang kian
lama, terasa kian jelas. Seketika itu pula, Suro Bodong berguling
sambil menggerakkan tangannya ke belakang, dan ternyata ia
menangkap satu lagi anak panah dari orang yang bersembunyi.
"Apa-apaan ini...?" pikir Suro Bodong. "Baru saja mau
menikmati alam segar sudah ada penyakit yang datang!"
Mata Suro Bodong bergerak liar dengan badan
membungkuk di balik pohon dadap. Ia mencari-cari seseorang dari
rimbunan semak atau belahan batu besar, namun ia tak menemukan
seseorang di sana. Lantas siapa yang telah berani memanahnya? Apa
urusannya? Mungkinkah mereka anak buah Laras Peri?
"Pasti dua orang yang sengaja memanahku, karena dua anak
panah ini datangnya dari dua arah yang berbeda." Suro berkata
sendirian dalam gerutu. Matanya masih bergerak nanar meneliti tiap
jengkal tanah dan tempat-tempat yang dicurigakan.
Tetapi, nalurinya segera mengatakan, ada orang yang
sedang mengendap-endap dari arah belakangnya. Oh, bukan dari
belakang persis, tetapi dari atas... atas pohon? Oh, bukan. Bukan atas
pohon, melainkan... atas genteng sirap rumah itu. Segera Suro
Bodong berguling ke depan dengan membiarkan tubuhnya
menerjang embun yang melekat di rerumputan. Tepat ketika ia
bergerak, seseorang meluncurkan anak panahnya dari atap rumah.
"Jeeuub...!!" Panah tajam menancap pada pohon dadap, tempat yang
dipakai Suro Bodong berlindung.
Di tangan Suro Bodong masih menggenggam dua batang
anak panah yang berhasil ditangkapnya tadi. Salah satu segera
dilemparkan dengan hentakkan tenaga dalam yang kuat. Anak
panah itu melesat seperti terlepas dari busurnya.
"Weess...!"
"Aaah...!"
Orang di atas atap menggelinding dan menahan sakit. Ia tak
mampu berteriak lebih keras lagi, karena yang terkena panah
lemparan Suro adalah bagian lehernya. Tepat tengah leher dan
tembus ke belakang. Tentu saja hal itu membuat orang itu
menggeliat limbung dan jatuh ke tanah tanpa bisa bernafas lagi.
Pada saat itu, seorang lagi melayang dari atas sebuah pohon di
belakang rumah. Mungkin ia ingin menolong temannya, namun
gagal. Temannya sudah terlanjur jatuh dan ia sudah terlanjur dilihat
oleh Suro Bodong.
Baru saja orang berpakaian hitam itu hendak berbalik
melarikan diri, Suro Bodong telah menyusulnya dengan satu kali
lompatan tenaga dalam. Suro berdiri di belakang orang itu, lalu
mencolek punggung orang tersebut. Yang dicolek berpaling, lalu ia
tergagap karena wajahnya dihantam kuat oleh kepalan tangan Suro
Bodong yang tidak memegangi anak panah.
"Sapi Kempot...! Siapa kau sebenarnya, hah? Mengapa kau
hendak membunuhku?! Bangsat kodok...!" dan sebuah tendangan
bersarang di perut orang yang mengenakan pakaian serba hitam
dengan ikat kepala biru muda.
Orang itu hendak terguling jatuh, namun ia buru-buru
menghentakkan tangannya hingga membuat suatu lompatan yang
tak terduga oleh Suro Bodong. Lompatan itu membawa kedua
kakinya ke arah Suro Bodong, lalu keduanya dijejakkan secara
serentak. Dada dan pipi Suro Bodong dengan rela menjadi sasaran
tendangan berganda itu. Suro terpelanting jatuh di atas atap itu. Ia
juga hampir saja tergelincir jatuh ke bawah, untungnya ia segera
memperoleh keseimbangan tubuh dalam posisi setengah berdiri.
Lututnya masih bertumpu sebagai ganti kaki kirinya, sedangkan
kaki kanannya menaplak di atas atap itu.
Namun, ternyata sebuah anak panah telah disiapkan oleh
lawannya. "Sreet...!" Anak panah melesat cepat dalam jarak tak
kurang dari lima langkah.
"Trak...!"
Suro Bodong menangkis anak panah itu dengan anak panah
yang tadi berhasil ditangkapnya. Hampir saja telinga Suro menjadi
sasaran anak panah yang ditangkisnya kalau dia tidak segera
berguling ke arah kaki lawannya.
Orang berpakaian serba hitam segera mencabut goloknya
dari pinggang. Ia menebas tubuh Suro Bodong yang dilompatinya.
Dua kali tebasan kilat bisa dihindari Suro Bodong dengan satu
tangkisan memakai anak panah, dan satu lagi dengan cara berguling
ke arah lain. Tetapi kaki Suro Bodong tidak mau diam saja. Dengan
menggunakan kedua tangannya sebagai ganti kaki, ia menendang
lawan dengan kaki kanan. Tendangan itu cukup tinggi dan sampai
ke dada lawan sehingga lawan pun terpental jatuh di atap tersebut.
Empu Segah terbangun akibat suara bergedebuk di atapnya.
Ia melirik tempat Suro Bodong berbaring, ternyata sudah tidak ada
penghuninya. Ia bergegas keluar, dan menemukan mayat seseorang
yang lehernya ditembus anak panah. Suara orang bertarung masih
terdengar di atas atap. Empu Segah berjalan ke pekarangan dan
memandang ke atas atap, ooh... Suro Bodong sedang bermain-main
dengan seorang lawan yang lumayan tangguhnya, pikir Empu
Segah. Dan ia tidak banyak bertindak kecuali melipat kedua
tangannya di dada sambil nonton pertarungan tersebut.
Suro Bodong tidak sempat mengetahui bahwa Empu Segah
menyaksikan pertarungannya. Ia memadukan jurus kibasan golok
dengan hantaman busur yang agaknya terbuat dari kayu sawo
dengan masing-masing bagian ujungnya runcing, siap untuk
menusuk lawannya.
Suro Bodong lebih hati-hati lagi, karena kedua jurus yang
dipadukan itu mempunyai gerakan yang mengejutkan. Jika golok
melesat ke samping maka busur runcing itu menghunjam ke depan,
entah ke bawah atau ke atas. Jika busur menebas ke samping kanan,
maka gerakan golok membelah dari atas ke bawah atau sebaliknya.
Suro Bodong mulai terasa terteter oleh gerakan simpang siur
itu. Ia hanya bersenjatakan satu anak panah hasil tangkapannya tadi.
Kalau anak panah sering dipakai menangkis senjata lawan, sudah
pasti akan patah pada suatu ketika. Karena itu, Suro Bodong tidak
banyak melakukan jurus tangkisnya, selain gerakan menghindar
sambil menyerang sesekali. Terkadang ia merunduk mendadak,
menghindari tebasan golok ke leher, tapi tiba-tiba ia harus
menjatuhkan diri ke samping depan karena busur runcing itu
terhunjam ke arahnya. Dan pada saat ia menjatuhkan diri ke depan
itulah ia sempat menendang kemaluan lawannya dengan kerasnya.
Permainan itu sempat terulang untuk yang kedua kalinya. Tapi kali
ini Suro Bodong tidak mau hanya menendang bagian vital
lawannya, melainkan juga melemparkan anak panah dengan
kekuatan tenaga dalamnya, sehingga anak panah itu melesat bagai
terlempar dari tali busur yang keras.
"Juub...!" Lalu disusul teriakan tertahan, "Aaauhh...!"
Anak panah itu berhasil menancap di lambung lawannya.
Orang itu masih sempat bertahan dengan mengibaskan busurnya ke
arah Suro Bodong. Busur lewat dengan cepat di bawah kaki Suro
Bodong yang melompat. Lalu, Suro pun berteriak keras, "Mampus
kau, heeaat...!!"
"Aaakh...! Uuukh...!"
Lawan berpakaian serba hitam dengan ikat kepala biru
muda itu mengerang memegangi lambungnya, sebab kaki Suro
Bodong menendang anak panah yang menancap di lambung.
Tendangan itu berhasil membuat anak panah masuk ke lambung
seluruhnya. Tinggal sisa beberapa yang kelihatan pada bulubulunya.
Orang itu menggeliat lemas, dan jatuh terguling hingga ia
sampai ke tepian atap. Suro Bodong menyempatkan untuk menendang
kepala orang itu dengan keras, seperti ia menendang
rongsokan bakul nasi. Tak ayal lagi, orang itu terjungkal jatuh ke
bawah, tepat di samping kiri Empu Segah. Telinganya mengucurkan
darah, namun ia tak mampu berdiri lagi. Ia masih punya nafas sisa
nafas yang tersengal-sengal. Empu Segah segera jongkok dan bicara
dengan tenang kepada orang itu:
"Siapa yang menyuruhmu ke mari? Apa maksudmu
membuat kekacauan di pondokku, hah? Kalau kau mau menjawab,
aku akan menolongmu. Aku bisa menyelamatkan kamu...!"
"Tu... tumenggung Simboyo... me... me..." Orang itu tak
sanggup bicara lagi. Nafasnya menghempas panjang, dan ia pun
terkulai tanpa nyawa.
"Hei, kalau mau kusembuhkan jangan mati dulu...!" kata
Empu Segah seenaknya saja. Kemudian geleng-geleng kepala sendiri
memperhatikan kedua mayat tak dikenal itu.
Suro Bodong masih nongkrong di atas atap, di tepian. Dari
sana ia berseru:
"Siapa mereka, Kek? Kenapa mau membunuhku?"
"Kau disangka aku...!" jawab Empu Segah.
"Apa ada orang yang mau membunuhmu?"
"Banyak! Di antaranya Tumenggung Somoboyo. Ia
memaksaku untuk membuat pedang pusaka tiruan. Tapi aku tidak
bersedia. Dia takut aku membocorkan rencananya, maka dia
mengirim kedua orang andalannya untuk membunuhku. Ternyata
mereka salah pilih. Kau disangka aku. Padahal kau dengan aku jauh
berbeda, terutama di dalam hal kesaktiannya. Betul, kan? "
Suro Bodong hanya nyengir sinis dan duduk di tepian atap.
3
Banyak hal yang harus diketahui Suro Bodong tentang
Istana Awan. Rupanya, Empu Segah banyak mengetahui siapa Laras
Peri itu.
"Dia menyimpan cermin di balik pakaiannya. Apabila ia
ingin mati, maksudku dalam keadaan sekarat, ia akan segera
mengambil cerminnya, dan ia akan mengaca. Jika ia mengaca ia
memperoleh kekuatan kembali dan dapat hidup lagi. Cermin itu
yang dinamakan pusaka Benggala Titis."
Suro Bodong menyimak pembicaraan Empu Segah sambil
makan jagung bakar kesukaannya. Empu Segah masih menyimpan
persediaan makanan, termasuk beberapa buah jagung yang
kemudian dibakar oleh Suro. Ia paling suka makanan jagung bakar,
sampai-sampai ia merasa sehari semalam betah tidak makan nasi
kecuali jagung bakar.
Sambil mengunyah-ngunyah jagung bakar itu, Suro Bodong
membiarkan Empu Segah membeberkan segala yang diketahui
mengenai Laras Peri.
"Jangan menganggap remeh Laras Peri. Ia orang
kepercayaan Ratu Istana Awan. Ilmunya cukup tinggi. Dan hati-hati
dengan senjata Cakranya itu. Itu senjata yang sangat berbahaya dan
serba bisa. Kalau kau mau merebut kembali istrimu, kau harus
membawa beberapa piranti; perlengkapan untuk menghadapi
orang-orang Istana Awan, terutama Laras Peri..." Empu Segah
meraih sebuah kantong kecil dari kulit celeng.
"Apakah semua orang Istana Awan mempunyai ilmu
setinggi Laras Peri?" Suro Bodong bertanya sementara Empu Segah
hendak menjelaskan sesuatu.
"Tidak. Hanya Laras Perilah orang terkuat nomor dua di
Istana Awan itu."
"Yang nomor satu?"
"Ratu, yang acap kali dipanggil Sri Ratu Manis...!"
Kepala berambut panjang tak teratur itu manggut-manggut
sambil mengunyah jagung bakar. Sesekali Suro menggaruk
kumisnya yang tebal sambil menggumam. Kemudian ia sempat
bertanya dengan suara tak jelas karena mulutnya penuh jagung:
"Di mana letak Istana Awan itu?"
"Sulit ditentukan."
Suro Bodong yang beralis tebal itu mengerutkan dahi.
"Kenapa sulit ditentukan?"
"Istana itu seperti berada di atas gumpalan awan, dan
karenanya istana itu berubah, berpindah-pindah tempat. Setiap
mereka mengorbankan tumbal, istana itu akan bergerak
meninggalkan tempat tersebut. Kemudian berhenti di suatu tempat
untuk satu purnama. Lalu mereka mencari tumbal lain yang pada
umumnya adalah putri seorang raja. Mereka tak berani pergi
sebelum mereka melakukan upacara adat yang membutuhkan
tumbal bagi dewa mereka."
"Jadi..." gumam Suro Bodong termenung sesaat. "Jadi letak
istana itu ada di atas kepala manusia?"
"O, tidak! Istana Awan memang tidak menyentuh tanah.
Namun ketinggiannya dari tanah hanya satu meter. Kau bisa masuk
melalui tangga, menuju halaman luar Istana Awan.
Tetapi untuk mencari tangga itu tidak mudah. Kalau toh kau
berhasil menemukan tangga yang terdiri dari empat baris itu, maka
begitu naik, kau akan disambut oleh dua penjaga berseragam
pakaian kuning gading...."
Suro Bodong tertegun beberapa saat, mengunyah jagungnya
dengan badan bersandar pada tiang penyangga atap.
"Bawalah kantong ini," Empu Segah menyerahkan sebuah
kantong kecil bertali pendek, warnanya hitam.
"Kantong apa ini?!" tanya Suro heran.
"Di dalamnya berisi biji-bijian sejenis kacang tanah.
Makanlah itu untuk bekal di perjalanan."
Suro Bodong mengamati kantong kecil itu, membuka
pengikatnya, dan melihat isinya yang memang terdiri dari biji-bijian
seperti kacang tanah namun lebih besar sedikit dan berwarna hijau
kehitam-hitaman. Mulanya Suro ingin mencicipinya, tapi ia takut
mengganggu kelezatannya dalam mengunyah jagung bakar.
Akhirnya ia simpan saja di balik sabuk kainnya yang berwarna
kuning itu.
"Kalau kau mau menyelamatkan istrimu," kata Empu Segah.
"Kau harus menemukan Istana Awan sebelum rembulan tenggelam.
Sebab pada saat bumi tanpa bulan, ketika itulah ia akan dijadikan
tumbal masyarakat Istana Awan."
"Kenapa harus begitu? Kenapa tidak pada saat malam
diterangi rembulan?"
"Secara pasti, aku tidak tahu. Tetapi dugaanku mengatakan,
bahwa pada saat bumi tanpa bulan dan mereka mengorbankan tumbalnya,
maka Istana itu sepertinya tetap bercahaya bulan. Terang.
Dan Sri Ratu Manis menyukai cahaya bulan. Hati-hati kalau kau bertemu
dengannya, sorot mata Sri Ratu Manis dapat mengakibatkan
kau lumpuh mendadak."
"Berarti dia berilmu tinggi, ya?"
"Kalau muridnya, seperti Laras Peri saja mempunyai
kekuatan yang hebat, apalagi gurunya."
Suro manggut-manggut lagi. Kemudian, Empu Segah
mengambil sepotong kayu dari meja yang penuh dengan senjata.
"Gunakan kayu ini. Apabila kau masuk ke halaman Istana
Awan, lemparkanlah kayu ini. Buang saja di sembarang tempat.
Kayu ini dapat menyelamatkan kamu."
"Cara kerja kayu ini bagaimana?"
"Kau akan tahu sendiri, nanti. Dan... bawa juga tiga batu
ini..." Empu Segah menyerahkan tiga batu kerikil seukuran ujung
jempol kaki Suro Bodong. Ia menambahkan:
"Lemparkan tiga batu ini satu persatu ke tempat-tempat
yang kau anggap gawat. Jika tidak terpaksa, jangan untuk
melempar."
"Kalau sudah kulemparkan akan bagaimana?"
"Lakukanlah sendiri, baru kau tahu jawabannya."
Tak banyak tanya lagi, Suro Bodong memasukkan tiga butir
batu ke dalam ikat pinggangnya yang lebar. Kendati lebar, namun
masih juga tak berhasil menutup pusernya yang bodong itu.
"Dan... ini adalah topeng. Bawalah topeng ini..." kata Empu
Segah seraya menyerahkan sebuah topeng berwarna merah dengan
wajah seorang satria tampan. Topeng itu terbuat dari kayu, namun
bagian dalamnya berlapis kain empuk yang sedikit tebal. Suro
Bodong menerimanya dengan wajah heran, karena sejak tadi ia
dibekali banyak benda yang baginya aneh, sepertinya tak masuk
akal jika benda itu adalah piranti untuk menyerang ke Istana Awan.
"Suro, kalau kau tertangkap dan dipenjara, pakailah topeng
itu. Paling tidak bisa membuat penjaga kamar penjara terkejut
melihat wajahmu, kemudian ia akan membukakan pintu dan kau
bisa melakukan penyerangan."
"Oo... begitu. Baiklah. Tapi, kalau boleh aku bertanya
padamu: mengapa kau membekaliku seperti ini? Kau sangat setuju
kalau aku menyerang ke sana. Ada apa sebenarnya? Dan... mengapa
kau seolah-olah hafal betul dengan keadaan di Istana Awan itu?
Apakah kau bekas orang Istana Awan?"
"Bukan! Aku bukan orang Istana Awan. Tapi aku pernah
menjadi tawanannya. Lima tahun aku diperbudak dan dijadikan
tawanannya. Pada waktu itu, aku ingin membebaskan istriku yang
ingin dijadikan tumbal...."
Suro buru-buru memotong, "Kalau begitu istrimu dulu juga
putri seorang raja?"
"Benar. Putri raja di negeri Swaranadwipa. Peristiwanya
sama dengan yang kau alami. Aku ditawan karena ingin
membebaskan istriku. Aku disuruh memilih hidup di Istana Awan
atau mati di luar istana. Maka, aku memilih untuk hidup di sana
sambil mempelajari cara meloloskan diri. Dan aku berhasil. Lalu,
aku menyiapkan beberapa cara untuk dapat mengalahkan orangorang
Istana Awan. Termasuk dengan menggunakan cermin ini..."
Empu Segah menunjukkan cermin bulat bersisi tiga. Jadi seperti segi
tiga, namun bidang miringnya itu berbentuk bulat.
"Bawalah pula cermin ini, dan usahakan bisa kau letakkan di
tengah tempat lapang di depan kamar atau serambi Sri Ratu Manis.
Di depan serambi itu ada tempat luas, biasanya untuk melakukan
upacara korban, atau untuk mengadakan malam sukaria. Di sana
ada lantai bergambar lingkaran dalam bentuk bunga matahari.
Letakkan cermin ini di tengah-tengah lingkaran itu, lalu tinggalkan
saja dia, sementara kau bisa melanjutkan mencari jalan keluar, atau
mencari di mana istrimu ditahan mereka."
Suro Bodong menghela nafas, lalu berkata, "Apa kau yakin
aku akan bisa merebut istriku kembali?"
"Tentu. Bahkan aku yakin kau bisa mengalahkan mereka."
"Dari mana kau bisa yakin begitu?" pancing Suro.
"Ilmu silatmu cukup tinggi. Kau pun mempunyai ketahanan
tubuh yang cukup kuat. Hanya saja, kau akan kalah akal dengan
mereka jika tanpa perabot yang kubekalkan kepadamu itu. Kuharap,
kau mau menghancurkan mereka dan hati-hati dengan jebakan
mesra, kau bisa mati kaku kehabisan darah karena mereka
mempunyai daya serap yang sungguh berbahaya dan
mengagumkan."
Sekali pun semua kata-kata tidak diresapi, tapi Suro Bodong
kali ini hanya menangkap garis besar dari keterangan tadi. Ia tahu,
bahwa di sana banyak jebakan, dan ia diminta untuk hati-hati dalam
melangkah.
"Apa aku perlu pusaka lain untuk membunuh Laras Peri?"
tanya Suro Bodong setelah mereka sama-sama bungkam beberapa
saat.
"Kau sudah punya? Kalau belum kau bisa kubekali keris
pusakaku yang pernah menjadi bahan rebutan oleh tokoh-tokoh
dunia persilatan, bahkan sampai geger besar di sebuah kadipaten
sebelah Barat Kediri."
Setelah mempertimbangkan kerepotan membawa perabot
itu, Suro Bodong berkata:
"Aku punya pusaka sendiri."
"Aku tidak melihatnya!" bantah Empu Segah. Suro diam
sejenak, lalu berkata lagi:
"Pedang Urat Petir, itu pusakaku. Apakah cukup?!"
Empu Segah bagai tersambar petir mendengar kata-kata
Suro Bodong. Ia terhenyak duduknya jadi bergeser mundur.
Wajahnya menjadi tegang dan matanya yang keriput itu
membelalak berapi-api.
"Kau... kau memiliki pusaka Pedang Urat Petir?!" nadanadanya
Empu Segah kurang percaya, paling tidak bimbang
terhadap pengakuan Suro Bodong.
"Kurasa lebih baik kau tidak percaya, daripada kau paksa
aku untuk membuktikannya."
Tetapi Empu Segah justru berbengong-bengong
memandang Suro Bodong. Mulutnya yang melongo itu seakan sulit
bicara. Bibirnya kelihatan gemetar ingin mengucapkan sesuatu.
"Kau... kalau begitu... kau anak Eyang buyut Birawa Paca
penguasa gunung Krakatau?!" Empu Segah menuding dengan jari
gemetar.
"Eyang buyut?" Suro berkerut dahi. "Mengapa kau
memanggil ayahku dengan sebutan eyang buyut? Apa
hubungannya denganmu?"
"Eyang buyut Birawa Paca mempunyai kakak Jayeng
Wirobo. Dia adalah kakekku, yang melahirkan ayahku dengan nama
Windusanja. Akulah anak Windusanja...."
Suro Bodong masih tercenung dengan dahi berkerut.
Matanya memandang Empu Segah yang berwajah tegang. Tapi tak
sebersit pun ada ingatan di benak Suro tentang nama-nama
keturunannya. Ia telah lupa sama sekali. Barangkali dulu ayahnya
yang memang penguasa gunung Krakatau itu pernah bercerita
tentang keluarganya, tapi Suro tidak ingat sama sekali. Bahkan kalau
tidak melalui bantuan Eyang Panembahan Purbadipa, Suro juga tak
akan mengetahui siapa ayahnya, siapa ibunya dan dari mana
asalnya. (Ada dalam kisah: Pertarungan Bukit Asmara).
Maka, ketika ia mendengar pengakuan Empu Segah bahwa
ia dan kakek berjenggot panjang itu masih ada hubungan darah persaudaraan,
Suro Bodong tidak begitu tertarik. Menganggapnya hal
yang biasa-biasa saja. Bahkan ketika Empu Segah melepas
kepergiannya dengan hormat sebagai seorang yang merasa lebih tua
dalam susunan darah keturunan, Suro Bodong hanya tersenyum
tipis. Dalam hati merasa geli, sebab kakek setua itu masih mau
memberi hormat kepadanya sebagai saudara yang lebih tua dari
Empu Segah.
Suro Bodong tidak pernah menghiraukan, apakah
pengakuan Empu Segah itu benar atau palsu. Yang penting baginya
adalah menyelamatkan Sendang Wangi agar jangan sampai menjadi
korban tumbal orang-orang Istana Awan. Hanya saja masalahnya
sekarang, di mana ia bisa menemukan negeri yang bernama Istana
Awan itu? Dan apakah benar bahwa Istana Awan itu adalah suatu
tempat yang dapat berpindah-pindah? Apakah benar Istana Awan
mempunyai tempat yang mengandung banyak jebakan?
Apa pun yang terjadi, dan bagaimana pun keadaannya, Suro
Bodong tetap ingin melacak istana itu, dan menyelamatkan istrinya.
Satu-satunya arah yang harus dituju adalah kembali ke tempat
pertemuannya dengan Empu Segah yang pertama, yaitu tempat ia
bertarung melawan Laras Peri. Dari sana Suro dapat mengingatingat
ke mana perginya raga istrinya yang ditarik melayang oleh
kekuatan hebat dalam keadaan tertidur nyenyak.
Langkah kaki Suro Bodong terhenti. Tempat
pertarungannya dengan Laras Peri masih jauh. Tapi ia terpaksa
menghentikan langkah kakinya karena ia mendengar suara seorang
mengerang dalam kesakitan. Ia memasang telinga, menyimak asal
suara tersebut. Ternyata dari arah kirinya. Maka, bergegaslah Suro
Bodong ke arah tersebut.
Astaga...! Ia melihat seorang lelaki kurus dalam keadaan
terbaring tanpa busana dan berwajah pucat pasi. Lelaki itu
tergeletak di rerumputan semak sambil menangis dan mengerang.
Tubuhnya tak ada luka, tapi ia sangat pucat pasi seperti mayat.
Waktu Suro Bodong mendekat, lelaki itu memandangnya
dengan sorot mata yang redup. Layu.
"Hei, kenapa kau?" Suro Bodong bertanya tegas, karena ia
ingin menutupi hatinya yang terharu melihat keadaan lelaki tanpa
busana itu. "Kenapa kau santai-santai saja di sini? Istirahat, ya?"
"Ooh... tolonglah... tolonglah aku...."
"Apa yang harus kulakukan untukmu? Aku tidak tahu kau
kenapa dan siapa dirimu. Jadi, apa yang bisa kulakukan?"
"Nnnna... namaku... Sss... Setu... uuhh...!" lelaki itu tersengalsengal,
sulit bernafas. Suro menahan kepedihan dalam hati melihat
kesengsaraan orang yang mengaku bernama Setu itu.
"Apa yang telah terjadi padamu. Setu?!"
Setu semakin megap-megap. "Tolonglah... bunuh...
bunuh...."
"Siapa yang harus dibunuh?"
"Aa... ak... aku...!"
Suro Bodong terperanjat mendengar permintaan Setu. Ia
minta dibunuh. Aneh. Apa sebenarnya yang telah terjadi?
Setu menjelaskan lagi dengan suara pelan dan susah payah.
Suro Bodong benar-benar menyimak dengan hati trenyuh.
"Ak... aku... lumpuh, dan... dan… luka parah...."
Mata Suro meneliti keadaan Setu yang masih bugil itu,
namun ia tidak menemukan bekas luka atau memar sedikit pun di
tubuh Setu. Hanya warna kulit yang memucat saja yang terlihat oleh
mata Suro Bodong.
Setu masih berusaha menjelaskan kendati ia sangat
kepayahan dalam menuturkan kata.
"Aku... tid... tidak tahan menderita sak... kiit... oh, oh...
bunuhlah aku sekarang... juga. Tolong...."
Setu memohon dengan mata yang semakin sayu dan berair.
Suro Bodong menelan ludahnya sendiri menahan kenyeriandi
hatinya melihat keadaan Setu. Lelaki itu benar-benar tidak dapat
menggerakkan badannya lagi, kecuali hanya mulutnya yang mampu
bergerak dengan susah. Bahkan ia berpaling memandang Suro
Bodong pun tak sanggup.
"Siapa yang membuatmu sampai lumpuh begini?" Suro
bertanya dengan hati-hati, suaranya cukup pelan.
"Sss... ss... Sri..." Setu menghela nafas dengan berat sekali.
Suro menyimak dan memperhatikan dengan teliti, sampai-sampai ia
tak sadar kalau dahinya berkerut kian tajam.
"Sri siapa?" desak Suro.
"Sss... sri... Sri Ratu... Manniis... Huugh...!"
Terperanjat Suro mendengar nama Sri Ratu Manis
disebutkan oleh Setu. Pasti Setu dapat menunjukkan di mana letak
Istana Awan berada. Pasti bisa!
"Setu, di mana letak Istana Awan? Di mana?!" Suro kelihatan
bersemangat sekali. Setu masih tetap dalam posisi semula,
terlentang dengan keadaan kepala miring ke kiri, menghadap
tanaman semak belukar. Matanya yang basah memancarkan sinar
yang pudar. Bagai sorot mata di ambang kematian.
"Setu, lekas katakan di mana Istana Awan itu? Aku akan ke
sana untuk membunuh Sri Ratu Manis...."
"Bun... bunuhlah... aku dulu. Tol... tolong, bunuhlah. Aku
tak tahan lagi... ooh, tak tahan...."
"Katakan dulu di mana letak istana itu, nanti kau akan
kubunuh," desak Suro Bodong yang menjadi cemas kalau-kalau Setu
mati sebelum menyebutkan tempat Istana Awan.
"Ddd... di... di dekat telaga... seb... sebelah kiri...."
Suro Bodong semakin mengerutkan dahi, wajahnya jadi
lebih kasar dari biasanya, ia memandang keadaan sekeliling. Ia
masih bingung. Tak ada tanda-tanda yang meyakinkan kalau Istana
Awan ada di sekelilingnya.
"Mengapa kau minta dibunuh? Ini permintaan yang sukar
bagiku, karena kau tidak mempunyai kesalahan apa-apa padaku,
Setu. Sebaiknya, kau bertahan dan aku akan menolongmu sekarang
juga."
"Per... percuma." Setu berusaha menghirup nafas melalui
mulut. "Akk.. aku terkena... ilmu... Suryapati... Aku akan lumpuh,
dan... dan bagian dalamku rusak. Dalam beberapa hari akan tersiksa
merasakan... sakit. Ooh... sakit sekali. Ak... aku dibuang oleh mereka,
setelah... huuuugh! Setelah..." Setu semakin parah. Nafasnya
tersendat-sendat. Tangannya bergerak karena sendatan nafas itu.
"Setu...?! Hei, jangan mati dulu... hei...?!"
Suro Bodong mengangkat kepala Setu. Kemudian mulut
Setu mengeluarkan cairan hitam keputih-putihan, seperti busa yang
kental. Suro Bodong menyeringai jijik dan ngeri. Lalu, nafas Setu
pun tersengal kuat satu kali, kemudian hilang bersama terkulainya
kepala yang melemas.
"Hei, Setuuu...?! Setuu...!" Suro Bodong berteriak
membangunkan lelaki itu, tapi percuma. Tubuh itu menjadi kian
dingin dan tanpa nafas lagi.
Akhirnya Suro sendiri yang menghempaskan nafas panjang
sambil berdiri. Tubuh Setu yang telah menjadi mayat masih
digeletakkan di rumput semak, sementara mata Suro memandang
lagi ke sekeliling sambil garuk-garuk kumisnya.
Merinding juga ia melihat keadaan korban kekejian Sri Ratu
Manis, terutama yang terjadi pada diri Setu. Tubuhnya menjadi
lumpuh dan bagian dalamnya rusak. Mungkin itu disebabkan oleh
ilmu Suryapati yang dimiliki Sri Ratu Manis. Menyesal sekali Suro
tidak dapat memperoleh banyak keterangan dari Setu mengenai
Istana Awan. Tetapi paling tidak ia sudah dapat meraba, bahwa
Istana Awan tidak jauh dari tempatnya berdiri saat itu. Sebelah kiri?
Ya, di sebelah kiri dekat sebuah telaga. Di sebelah kiri telaga atau di
sebelah kiri...? Wah, ini membuat Suro Bodong bingung dan garukgaruk
kumis lagi.
Tetapi akhirnya naluri Suro memutuskan untuk berjalan ke
arah sebelah kiri mayat Setu yang terbujur seperti pada posisi
semula itu. Langkahnya cukup hati-hati, sebab Suro tahu kalau ia
melangkah semakin dekat dengan Istana Awan, paling tidak akan
semakin banyak perintang yang akan ditemuinya. Namun, sampai
sejauh ia melangkah, ia belum juga menemukan sebuah telaga yang
menjadi patokan letak Istana Awan. Suro masih harus bersabar dan
melangkah dengan hati-hati lagi.
Matahari mulai condong ke Barat. Langkah kaki Suro yang
pelan-pelan menimbulkan rasa pegal yang menjengkelkan. Suro
berhenti sejenak. Ia mulai ragu, jangan-jangan ia salah arah. Ia
menghempaskan nafas seraya duduk di bawah pohon besar.
Perutnya yang tumben-tumbenan terasa lapar itu mengkeriuk minta
diisi. Suro ingat biji-bijian sejenis kacang pemberian Empu Segah.
Maka, satu demi satu ia memakan biji-bijian tersebut. Sedikit keras
dan getir, tapi lumayan sebagai pengganjal perut. Dua biji dimakan,
terasa cukup untuk membuat perut mulai kenyang.
"Aneh," gumam Suro sendirian. "Baru makan dua seperti
sudah makan dua buah pisang kepok. Lumayan juga, ya?"
Masih ada sebagian biji-bijian yang belum dimakan, tapi
Suro tak jadi melanjutkan melahapnya. Ia mulai curiga melihat
tanah gembur dan empuk. Semakin ia melangkah memperhatikan
tanah itu, semakin basah daerah sekelilingnya. Tanah itu
mengandung air. Ini berarti dekat dengan sumber air. Ya. Air telaga?
Semangat Suro Bodpng kembali menyala. Ia bergegas
melangkah maju. Ia yakin sudah dekat dengan telaga yang tadi
disebutkan oleh Setu. Dan, ternyata dugaannya itu benar. Suro
melihat genangan air telaga yang tidak terlalu luas. Garis tengah
telaga itu kurang lebih hanya 15 meter. Akhirnya terlihat bening
berkilauan. Di tepian telaga banyak tanaman perdu dan pohon
menjulang. Beberapa daun sempat merimbun menaungi telaga.
Berkas sinar matahari masuk melalui celah-celah dedaunan,
mengakibatkan suasana di sekitar telaga menjadi lebih teduh dan
nyaman.
"Ini telaga yang dikatakan Setu tadi..." gumam Suro Bodong.
Tetapi ia melirik ke kanan-kiri, namun belum menemukan
bangunan yang layaknya disebut sebagai istana.
Suro melangkah semakin maju dengan penuh kewaspadaan.
Ternyata ketika ia membuka rumput ilalang di depannya, matanya
menjadi terbelalak melihat pemandangan yang mengherankan. Di
suatu sisi telaga, kira-kira 25 meter dari tepi telaga, terlihat suatu
bentuk gumpalan asap tebal yang menyerupai awan. Gumpalan
awan berwarna putih bagai sekumpulan kabut itu mengambang di
atas tanah. Tingginya sekitar satu meter dari permukaan tanah.
Sedangkan tebal awan itu sendiri satu meter lebih. Gumpalan awan
itu melingkar, bagai memagari sebuah bangunan indah yang
kelihatan samar-samar karena diselimuti asap-asap yang bergerak
searah gerakan matahari. Bagian ujung atap bangunan terlihat lebih
jelas ketimbang bagian dasar atau bangunan bawahnya.
Suro mengerjap-ngerjapkan mata, bagai tidak yakin dengan
keanehan yang dilihatnya. Sebuah bangunan indah dan megah
berdiri di atas gumpalan awan tebal, ini sungguh ajaib. Pantas
rasanya jika bangunan itu bisa berubah tempat sewaktu-waktu,
karena awan yang menggumpal dan seolah-olah dijadikan landasan
itu juga mampu bergerak kian ke mari.
Mata Suro Bodong mengawasi bangunan megah itu,
mencari-cari di mana letak tangga yang akan menghubungkan orang
dari tanah naik ke atas gumpalan awan. Sukar sekali meneliti tempat
aneh itu dari kejauhan. Mau tidak mau Suro harus berani mendekat
dan mencari tangga tersebut. Ia juga ingat kata-kata Empu Segah,
bahwa mencari tangga itu sendiri merupakan pekerjaan yang sulit.
Selagi Suro Bodong merenung dari balik semak ilalang,
tahu-tahu leher kirinya terasa dingin. Ada logam yang menempel di
lehernya, lalu disusul dengan suara seorang perempuan yang
bernada rendah, kecil namun terlihat kecentilannya lewat suara:
"Apa yang kau lakukan di sini, hah?!"
Suro Bodong bagai tersiram air dingin. Merinding bulu
kuduknya, berdebar pula jantungnya dengan cepat. Ah... menyesal
sekali ia bisa tertangkap dengan mudah. Padahal ia masih
membutuhkan waktu untuk menyelidiki daerah gumpalan awan itu.
"Bangun...!" bentak perempuan berpakaian hitam dari kulit
beruang. Ia menodongkan tombak berujung runcing dengan kanan
kiri ujung terdapat semacam kail besar yang melengkung, seperti
pancing ikan raksasa. Ujung tombak itu sendiri cukup panjang dan
tajam. Ada kira-kira sejengkal dan berbentuk segi empat ketupat.
Ujung itu bagai semakin ditekankan ke leher begitu Suro Bodong
bangkit dan berdiri.
"Apa yang kau lakukan di sini? Mengintai istana kami?"
hardik perempuan genit yang suka tersenyum namun agaknya
berdarah dingin yang tak kenal ampun kepada siapa pun.
"Aku... aku hanya terheran-heran melihat istana itu," kata
Suro Bodong mencoba untuk tetap tenang. "Aku... aku sangat
senang lihat gumpalan awan yang membungkus bangunan itu.
Apakah aku tak boleh mengagumi bangunan itu?"
"Kau bohong...!" bentak perempuan itu dengan lebih
menekankan tombaknya ke leher Suro. "Kau pasti memata-matai
kami, bukan?"
"Bu... bukan! Aku... aku sekedar mengaguminya."
"Bohong!" bentakan itu seiring dengan gerakan tombak yang
kian menahan dan menekan leher Suro. Waduh... bagaimana ini?
Haruskah Suro menyerah begitu saja?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar