free counters

Kamis, 03 Maret 2011

SURO BODONG"TUMBAL MAHKOTA RATU" BAG 2

4
Perempuan berpakaian kulit beruang itu menyeringai ketika
Suro Bodong berhasil dipepetkan ke pohon. Leher Suro digencet dengan
batang pohon dan ujung tombak. Bergerak sedikit, pasti
tombak akan menembus kulit leher. Sebab itu, Suro tidak berani
memberi perlawanan atau gerakan yang memancing kemarahan
perempuan itu.
"Buka pakaianmu...! Lekas!" bentak perempuan itu dengan
suara tidak terlepas lantang, namun sedikit menggumam dan berbisik.
Suro Bodong semakin kebingungan.
"Lekas buka semua pakaianmu!" ulang perempuan berikat
kepala dari logam perak tipis.
"Ma... maaf, aku... aku tidak bisa tahan jika harus buka
pakaian di depan perempuan cantik. Pasti... pasti gairahku berkobarkobar,
bahkan... bahkan bisa membabi buta... oh, jangan. Jangan
suruh aku buka pakaian di depan perempuan secantik kamu. Aku
bisa nekad menggumulimu sampai esok pagi..." Suro Bodong
sengaja memancing dengan lagak ketakutan, gemetar dan kata-kata
yang memancing birahi perempuan itu. Dan, ternyata pancingannya
itu berhasil. Suro tahu tujuan perempuan itu menyuruhnya
membuka semua pakaian, karena itu Suro pun menciptakan alam
pikiran perempuan itu untuk semakin menyala-nyala dalam
bayangan pergumulan yang menggairahkan.
"Apa kau biasanya begitu?"
"Betul...! Aku... oh, aku malu. Aku punya keanehan jika
bercinta, selalu saja tak pernah lepas gairahku sebelum terdengar
kokok ayam di pagi hari....."
"Aneh... tapi menarik sekali untuk dicoba..." perempuan itu
mulai mengendorkan tekanan tombaknya. "Kau orang dari mana?"
"Aku..." Suro masih berlagak bingung, gemetar dan
ketakutan. "Aku... hanya seorang pencari madu hutan untuk dijual
kepada para bangsawan. Dan... dan karena aku sering memakan
sarang lebah hutan, maka... aku jadi mempunyai kelainan seperti
yang kukatakan tadi. Maaf, jangan paksa aku untuk berbuka
pakaian. Nanti aku nekad menggumulimu!"
Perempuan itu menyeringai dengan sorot mata yang
berbinar-binar penuh gairah. Lalu, ia pun melepaskan acungan
tombaknya. Kini ia berdiri dengan tombak di tangan dan dalam
keadaan tegak di depan kaki kanannya.
"Melihat badanmu yang berotot dan celanamu yang
menonjol, aku percaya kau memang orang kuat dalam hal
bercumbu. Sekarang, tolong layani aku di tempat yang rimbun itu."
Suro Bodong berlagak terkejut dan terbengong. "Aku... oh,
jangan. Nanti aku memaksamu bertarung sampai pagi...."
"Itu yang kumau...! Ayo..." perempuan itu benar-benar yakin
bahwa Suro Bodong punya kekuatan yang maha hebat dalam
bercinta. Sebab dari tadi matanya melirik ke celana Suro Bodong,
dan ia melihat sesuatu yang cukup menonjol di sekitar paha Suro
Bodong. Gairahnya sudah bernada pancingan untuk bercumbu. Ia
melangkah ke semak rimbun yang kelihatan lebih rapi dan lebih
tersembunyi.
Ketika itu Suro Bodong berada di belakangnya. Perempuan
itu sesekali berpaling sambil tersenyum merangsang. Bahkan tali bajunya
sudah mulai dilepas satu persatu.
"Ayolah... jangan takut. Aku tidak akan membunuhmu
kalau kau mau memberiku kebahagiaan sampai esok pagi..."
Tetapi, kali ini Suro Bodong sengaja berkata:
"Justru kau harus membunuhku dulu, baru arwahku mau
bergumul denganmu...!"
Perempuan itu terkejut. Segera memandang Suro Bodong
dengan mata terbelalak dan menyimpan geram.
"Apa maksudmu berkata begitu, hah?" tombak mulai
diacungkan. Tetapi Suro Bodong tidak mau banyak bicara.
Sewaktu tombak hendak disodokkan ke leher Suro Bodong,
kaki Suro segera menghentak ke atas, menendang tombak itu
dengan kuat. Kaki kiri menendang tombak sampai tombak terangkat
ke atas, sementara kaki kanan segera masuk ke ulu hati perempuan
itu dengan keras juga.
"Huuuggh...!!"
Perempuan itu menyeringai menahan sakit di mana
nafasnya tak mampu dihirup lagi. Ia membungkuk menahan sakit
yang membuat matanya terpejam kuat-kuat. Posisi berdirinya mulai
limbung. Suro Bodong tak mau banyak membuang waktu. Ia segera
menghantam pelipis perempuan yang bertugas menjaga keamanan
di luar istana itu. Pukulan Suro membuat perempuan itu melintir
dan rubuh ke tanah. Tombaknya terlepas. Lalu, Suro buru-buru
memungut tombak itu, dan tanpa ampun lagi ia menancapkan
tombak tersebut ke perut perempuan itu.
"Mati sajalah kau, daripada nanti menjadi biang penghalang
gerakanku...!!" kata Suro Bodong dengan geram dan suara pelan.
Setelah tombak itu menancap sampai tembus ke tanah, Suro
Bodong segera mengendap-endap mendekati gumpalan awan yang
memagari bangunan mewah dan indah itu. Suasananya cukup sepi.
Tak ada suara apa-apa, tak ada gerak apa pun juga, kecuali asap
yang melilit-lilit mengitari bangunan besar yang luas itu. Suro
Bodong masih kebingungan mencari tangga yang dapat untuk naik
ke landasan apung bagi istana tersebut. Ia belum berani mendekati
terlalu nyata, takut kalau-kalau ada penjaga yang bisa melihatnya
dari atas awan tersebut. Barangkali saja orang-orang di atas
gumpalan awan itu dapat melihat dan mendengar keadaan di luar,
sedangkan orang yang di luar gumpalan awan tak bisa mendengar
atau melihat apa pun yang terjadi di atas gumpalan awan itu.
"Aku harus menggunakan jurus Luing Awan Empat, supaya
tidak menimbulkan kecurigaan bagi para pengawal yang pasti berjaga-
jaga di balik gumpalan awan itu," pikir Suro Bodong. Kemudian
ia mencari tempat sedikit lega, dan jurus Luing Ayan-4 segera dilakukan;
Suro Bodong melompat ke udara dan bersalto sebanyak 4
kali tanpa menyentuh tanah. Itulah Luing Ayan-4 yang langsung
merubah ujud Suro menjadi seekor monyet berbulu ungu.
Apabila monyet ungu itu melompat ke udara dan bersalto
satu kali putaran, maka ia akan berubah ujud menjadi Suro Bodong
kembali. Namun, untuk saat itu, Suro tidak mau melakukan dulu. Ia
bergegas melompat-lompat dalam ujud raga seekor monyet berbulu
ungu kehitam-hitaman. Monyet itu dengan gerakan yang lincah
mendekati gumpalan awan, memandangnya dengan kepala
bergerak-gerak miring seperti seekor monyet yang terkagum-kagum
melihat gumpalan awan selebar itu. Bahkan kini monyet itu
bergerak mengelilingi lingkaran awan yang cukup luas dan lebar.
Sambil melompat-lompat selayaknya kera kebingungan, ia
menyelidiki di mana letak tangga yang dapat digunakan sebagai
jalan naik ke landasan apung dari istana tersebut.
Beberapa saat kemudian, Suro Bodong yang berujud seekor
monyet ungu itu menggerutu sendiri sambil garuk-garuk ketiaknya,
"Sialan...! Di mana tangga itu, ya?"
Kemudian ia menemukan suatu gagasan unik. Monyet
melompat-lompat sambil menjerit-jerit. Gerakan dan suaranya mirip
monyet kena sawan celeng dan menjadi gila. Ia mengelilingi
lingkaran awan tebal, bahkan menyelusup masuk di bawah
lingkaran awan itu. Jeritannya diperkeras, dan ternyata pancingan
itu berhasil. Cara itu membuahkan hasil yang diharapkan. Seorang
perempuan berpakaian kuning gading turun dari tangga. Saat itu
mata monyet membelalak, ia memperhatikan anak tangga yang
terdiri dari empat baris keluar dari gumpalan awan. Anak tangga itu
seperti sebuah bingkai kaca berlapis sinar yang dapat sewaktuwaktu
padam sendiri. Muncullah tangga berwarna sinar merah itu
bukan dari atas ke bawah, namun menyala secara tiba-tiba, bagai
disorotkan dari atas ke bawah. Ini merupakan tangga aneh dan unik
yang baru pertama kali dilihat Suro Bodong, sekali pun sekarang dia
dalam ujud seekor monyet ungu.
Perempuan berseragam kuning gading, dan menyelipkan
sebilah pedang di punggungnya itu mendekati monyet ungu. Ia
tampak girang melihat monyet ungu melonjak-lonjak seraya
bergerak mundur. Perempuan itu, yang tentunya salah satu penjaga
istana, dengan sangat hati-hati mendekati monyet ungu. Jemarinya
bercetek-cetek membujuk monyet ungu agar jangan takut
kepadanya.
"Kemarilah sayang.... kemarilah... jangan takut, sayang..."
perempuan itu membujuk sambil berjalan membungkuk. Suro
Bodong yang berujud monyet ungu memasang strategi. Ia diam
berlagak seperti monyet jinak. Sebenarnya, saat itu ia ingin
menyerang perempuan itu. Ia bisa saja melompat dan menerkam
leher perempuan itu hingga digigitnya sampai putus. Tapi, tiba-tiba
ia mempunyai rencana lain.
Monyet ungu diusap-usapnya oleh perempuan itu. "Jangan
takut, sayang.... kami tak mungkin memakan dagingmu... hi, hi...
lucu sekali monyet ini," kata perempuan itu sendirian.
Hampir saja monyet ungu bicara dengan suara manusia,
tetapi Suro Bodong buru-buru menjaga suaranya agar jangan sampai
menimbulkan kecurigaan bagi lawan. Jika ia bicara dalam suara
manusia, bisa jadi ia dicurigai lalu dibunuh dan dijadikan santapan
sebagai 'monyet guling'. Oh, Suro tak ingin mati sebagai monyet.
Sebab itu ia tetap beker-beker seperti suara seekor monyet pada
umumnya.
Ia membiarkan perempuan itu menggendongnya dengan
tetap mengusap-usap. Ia digendong dan diletakkan di dada
perempuan itu yang menonjol dan terasa hangat.
"Gawat..." kata Suro Bodong dalam hati. Ia jadi kebingungan
ketika wajahnya disandarkan di tubuh perempuan itu, persis di
antara belahan dadanya. Debar-debar jantung monyet menjadi
keras, seperti umumnya debar-debar seorang lelaki yang
menempelkan kepalanya di dada seorang perempuan sexy seperti
penjaga berseragam kuning gading itu.
"Kau monyet lucu...! Monyet siapakah kau? Hemm...? Ah,
ikut aku ke atas saja, yuk...! Jangan takut, kau di sana akan menjadi
hiburan bagi kami. Hei...? Wah, wah, wah...?!"
Perempuan itu membelalakkan matanya dengan terperanjat
dan menahan rasa geli. Ia akhirnya tertawa sambil melangkah
menaiki anak tangga yang sama-sama berseragam kuning gading
dengan pedang di punggung, hanya saja rambutnya lebih pendek
lagi dan tali kepalanya berwarna biru tua.
"Kenapa kau tertawa terpingkal-pingkal begitu, Nyumi?"
tanya temannya. Perempuan yang dipanggil Nyumi itu masih
menghabiskan tawa, dan ia bicara di sela tawanya:
"Lihat... monyet ini ternyata monyet jantan. Lihat saja
barangnya, ketika kurebahkan di dadaku, ia menjadi kejang dan... hi,
hi, hi.... lihatlah ini?!"
Perempuan berikat kepala biru itu memeriksa kejantanan
monyet ungu. Ia terperangah girang dan berkata:
"Astaga... mirip sekali dengan barang manusia lelaki, ya?
Woow... hi, hi, hi...."
Perempuan itu ikut mengikik geli. Monyet ungu bagai
dipangku, dihadapkan ke depan dan perempuan berikat kepala
ungu itu mempermainkan dengan geli dan terkikik-kikik.
"Rupanya dia punya nafsu juga, ya Buli?" kata Nyumi
kepada perempuan berikat kepala biru yang dipanggil Buli itu.
Keduanya menjadi semakin mengikik geli setelah Buli
berbisik kepada Nyumi dengan kata-kata yang dapat didengar oleh
monyet ungu:
"Siapa tahu monyet ini bisa bekerja seperti seorang lelaki
dewasa. Ayo, kita coba...!"
"Ah, gila kau! Masa aku harus tidur dengan seekor monyet?
Bagaimana nanti kata teman-teman kita, Buli?" seraya Nyumi tertawa
geli.
"Ah, yang penting kan bisa dipakai! Siapa tahu lebih hebat
dari pada seorang lelaki...! Eh, astaga... Nyumi, lihat... semakin besar
saja dia...?! Ih, aku jadi berdebar-debar...!"
Tiba-tiba, monyet ungu tak tahan dipermainkan oleh jari
jemari perempuan-perempuan berseragam kuning gading. Ia
melompat dan lepas dari pegangan Nyumi. Ia berlari menghindari
kejaran Nyumi dan Buli, lalu bertengger di sebuah atap dari
bangunan kecil yang rupanya sebagai pos penjagaan di luar benteng
istana. Kedua perempuan itu ribut membicarakan monyet tersebut,
tetapi si Monyet tetap tidak perduli. Ia terlanjur dongkol
dipermainkan anggota tubuhnya yang paling peka. Ia diam saja
bertengger di atas genting yang terbuat dari logam seperti baja putih
itu. Dari sana ia dapat melihat keadaan sekeliling istana tersebut.
Istana Awan ternyata dipagari oleh logam tebal yang
mengelilingi bangunan istana. Logam setebal satu jengkal itu
tampaknya bukan baja, bukan juga jenis kuningan. Warnanya abuabu
dan kekar melebihi selempeng baja. Tingginya dua kali ukuran
tombak, berkeliling menutup ruang halaman dalam istana. Suro
Bodong yang sebagai monyet ungu bertengger di atap rumah
penjagaan itu dapat melihat isi di dalam benteng logam kekar itu.
Ada beberapa bangunan yang terbuat dari logam juga
berwarna putih perak, tetapi dari sekian bangunan, ada yang paling
utama dan terbuat dari logam yang memantulkan cahaya. Bersih
dan mengkilat. Bisa untuk bercermin dinding itu. Suro yakin itulah
istana utama bagi Sri Ratu Manis yang dikenal sebagai penguasa
Istana Awan.
Tak banyak orang berlalu-lalang di dalam pagar istana.
Hanya terlihat beberapa orang perempuan saling membentuk
kelompok bicara sendiri-sendiri. Di sana juga ada tanaman. Pohon,
bunga, dan kolam air mancur. Pohon dan tanaman lainnya di taman
dalam sebuah pot besar dan panjang. Pot itu berisi tanah dilapisi
rumput yang terawat rapi. Pot besar dan panjang itu terbuat dari
batu marmer hitam yang bersih dan indah. Bunga-bunga juga
tampak menghiasi halaman istana yang layaknya disebut sebagai
taman.
Suro Bodong dalam ujud monyet ungu sempat menggumam
dan berdecak kagum melihat kemegahan dan keanehan istana tersebut.
Luas, tapi rapi. Di luar pagar hanya terlihat dua perempuan
berseragam kuning gading tadi. Selebihnya sepi. Tetapi lantai yang
menjadi dasar berdirinya bangunan itu terbuat dari sejenis logam
tembus pandang. Seperti kaca, tapi bukan kaca. Seperti baja, tapi
tembus pandang. Entah dari bahan apa itu, Suro kurang jelas. Dari
luar pagar sampai di dasar taman semuanya berlantai bening, tembus
pandang. Setiap orang bisa melihat tanah atau tanaman yang
ada di bawah komplek Istana Awan itu. Kabut-kabut yang
membungkus daerah itu pun bisa dipakai melihat ke arah luar,
tetapi dari luar tidak bisa melihat ke dalam kabut yang menggumpal
itu.
Lalu, di mana Sendang Wangi ditahan untuk menunggu
dijadikan tumbal? Suro Bodong belum dapat memastikan di mana
letak para tawanan mereka. Yang jelas ia harus segera bertindak.
Kedua perempuan berseragam kuning gading itu sedang sibuk
berupaya memegang monyet ungu. Saat itu juga monyet ungu
tersebut melompat dari atap dan bersalto satu kali. Jurus Luing
Ayan-1 beraksi, dan Suro Bodong yang asli muncul kembali. Kedua
perempuan berseragam kuning terkejut melihat monyet ungu yang
tadi diusap-usapnya telah berubah ujud menjadi seorang lelaki berbaju
merah tanpa dikancingkan, bercelana biru dan mengenakan
ikat kepala merah untuk mengikat rambutnya yang panjang sebahu.
Suro Bodong yang telah kembali dalam ujud aslinya segera
menyunggingkan senyum sinis seraya garuk-garuk kumisnya yang
tebal. Nyumi dan Buli bersiap siaga menghadapi Suro Bodong.
Mereka memisah menjadi dua arah, depan kiri dan depan kanan
dari Suro Bodong.
"Siapa kau?!" hardik Nyumi. Buli pun kelihatan tegang
karena ia merasa lalai dalam penjagaannya.
"Aku Suro Bodong...! Istriku ditawan di sini, mau dijadikan
tumbal," kata Suro dengan tenang. Lalu sambungnya lagi, "Aku
ingin mengambil istriku. Aku tidak rela kalau istriku dijadikan
tumbal. Cari saja istri orang lain, jangan istriku. Soalnya..." Suro
nyengir seenaknya. "Aku belum menikah dengannya dan masih
gatal-gatalnya untuk saling berpacu di atas ranjang. Jadi, tolong
keluarkan istriku dari kamar tahanan. Keluarkan sekarang juga,
sebelum aku hancurkan istana ini. Mengerti?!"
"Mulut lancang!" geram Buli. "Kau tidak mungkin bisa lolos
dari sini, karena kau telah masuk ke wilayah istana kami maka kau
harus pergi dalam keadaan sekarat. Nyumi... serang dia!"
"Ciaaaat...!!" Nyumi menyerang dengan jurus tendangan
salto yang telak mengenai pundak Suro Bodong. Oh, terasa ngilu
tulang Suro terkena tendangan yang begitu gesit dan cepat itu. Suro
terpelanting ke kanan, untung tak sampai jatuh, sehingga ketika Buli
menyerangnya dengan pukulan tangan kanannya, Suro dapat
menangkis dan segera lompat ke belakang, kemudian bersigap
menunggu serangan berikutnya.
Kedua perempuan itu segera mencabut pedang mereka dari
punggung. Suro Bodong garuk-garuk kumis dengan mata jeli
memandang tajam kepada kedua perempuan itu.
Nyumi memegang pedang dengan kedua tangannya,
menggerakkan ke atas kepala dengan kekar, posisi kaki merenggang
dan merendah miring, seakan siap menusukkan ujung pedangnya
ke tubuh Suro Bodong. Sedangkan saat itu, Buli juga memainkan
jurus serupa. Hanya saja Buli memegang pedang dengan tangan
kanan, sedangkan tangan kirinya teracung ke depan dengan kokoh.
Hanya dua jari yang ditekuk ke dalam sedangkan tiga jari, termasuk
jempolnya, berdiri tegak dan bertenaga hingga tampak getarannya.
"Hiaaaat...!!" keduanya berteriak dan berguling ke lantai
bersamaan. Pedang mereka menebas perut dan kaki Suro Bodong
secara bersamaan. Suro Bodong tak kalah gesit. Ia segera melompat
ke depan bagai harimau menerkam anak ayam, lalu bergulingguling
sampai tiga kali. Tapi bukan bersalto, sebab itu ia tidak
berubah ujud.
Suro Bodong lekas berdiri tepat pada saat kedua perempuan
itu telah siap menyerangnya kembali. Kali ini Buli melompat dari
arah kiri ke kanan, sedangkan Nyumi melompat dari arah kanan ke
kiri. Mereka memainkan jurus pedang silang, yang sempat
membingungkan Suro Bodong.
"Hiaaaat...!" pedang Nyumi menebas leher Suro.
"Ciaaaatt...!!" pedang Buli menebas tangan kanan Suro. Tak
ada jalan lain bagi Suro Bodong kecuali segera merebah untuk
menghindari tebasan kedua pedang yang bersilang itu. Begitu ia
merebah di lantai yang mirip kaca itu, kedua kakinya mengayun ke
atas, menekuk sampai ke arah belakang. Kaki kanannya sempat
menendang pinggang Buli dengan keras. Buli tersungkur ke lantai
tanpa ada keseimbangan. Sedangkan kaki kiri Suro hanya sempat
menendang betis Nyumi yang membuat Nyumi terpelanting sedikit,
tapi tidak sampai jatuh. Suro Bodong buru-buru mengayunkan
kedua kakinya ke depan, dan tangannya menghentak di samping
kedua telinganya. Sekali hentak, ia melayang dan jatuh dalam posisi
berdiri tegak memunggungi lawannya.
Nyumi melesat dengan satu lompatan bersalto tiga kali
dalam keadaan tangan tiga kali menyentuh lantai. Saat ia berhenti,
langsung menghunjamkan pedangnya ke tengkuk kepala Suro.
Seketika itu pula, Suro Bodong merunduk dan menendangkan
kakinya dengan tendangan belakang. Tumit kaki Suro Bodong tepat
mengenai dada Nyumi hingga Nyumi terpekik tertahan.
"Aakhh...!!"
Suro Bodong membalikkan badan sambil mengibaskan kaki
kirinya ke wajah Nyumi. Tendangan berputar itu membuat Nyumi
terpental beberapa langkah dari tempatnya, dan jatuh dengan kepala
membentur lantai yang keras namun tembus pandang itu.
Suro Bodong segera berguling maju, karena dilihatnya Buli
hendak melompat menyerangnya. Tepat pada saat tubuh Buli
melayang dengan pedang diayunkan ke depan, pada saat itu Suro
sudah berada di bawah Buli, dan tendangan yang dinamakan jurus
Ayam Kawin itu melesat ke atas. Perut Buli terkena tendangan
beruntun tujuh kali. Cepat dan kuat kaki Suro menendang,
kemudian tubuh Buli melengkung dalam berdiri menahan sakit, dan
kaki kiri Suro melanjutkan jurus Tendangan Ayam Kawinnya, tujuh
kali melancarkan tendangan beruntun yang tak dapat dilihat oleh
mata gerakan kaki itu.
Ada darah yang meleleh dari pinggiran mulut Buli.
Perempuan berikat kepala biru itu menyeringai dengan mata
terpejam. Kesempatan bagi Suro untuk melancarkan pukulan ke
arah pinggang Buli. Namun belum sempat ia menggerakkan
tangannya tiba-tiba sebilah pedang melesat dan tertuju ke arah
perutnya. Terpaksa Suro Bodong melompat dan tak jadi memukul
pinggang Buli.
"Hiaaat...!!" Nyumi yang melemparkan pedangnya segera
melayang bagai macan kumbang menerjang elang. Tangan Nyumi
keduanya teracung ke depan dan siap merobek wajah Suro dengan
kukunya yang tajam namun tidak panjang. Saat itu, mereka bertemu
dalam keadaan sama-sama melompat di udara. Suro segera
mengibaskan kakinya ke depan untuk menangkis serangan kedua
tangan Nyumi. Tangan itu ditendangnya kuat-kuat sampai terangkat
ke atas.
"Aaaow!!" Nyumi terpekik karena sikunya terasa mau patah
terkena tendang Suro Bodong. Mereka sama-sama turun dan
menapakkan kakinya ke lantai tersebut. Untung Suro Bodong sudah
mempunyai perkiraan kuat, bahwa ia akan diserang Buli kembali
begitu ia turun. Dan dugaannya itu benar. Dia diserang Buli, tapi
bukan dengan pedang, melainkan dengan telapak tangan kiri Buli
yang mengeluarkan semacam serbuk biru berhamburan. Suro buruburu
menghindar dengan cara berguling-guling menjauhi Buli.
Tahu-tahu serbuk biru itu meletup-letup di udara dan membuat
nyala api yang berpijar-pijar di udara. Lalu, padam karena habis
masa kobarnya.
Suro Bodong berdiri hendak melancarkan serangan kepada
Buli. Tetapi tiba-tiba dari pintu gerbang benteng logam itu keluar
beberapa perempuan berseragam kuning gading. Mereka
menyerang Suro Bodong dengan tali-tali warna coklat. Tali-tali itu
ditebarkan dari berbagai arah, dan langsung dapat membelit tubuh
Suro Bodong.
Ada sekitar tujuh tali dari tujuh perempuan yang membelit
tubuh Suro, dan anehnya lagi, tali-tali itu berkembang bagai
merayap di tubuh Suro Bodong. Tangan Suro Bodong mencoba
bergerak, meronta-ronta untuk melepaskan diri dari tali-tali yang
berkembang itu. Namun usaha tersebut sia-sia. Setiap tali berkembang
makin lebar dan membentuk suatu jaring yang kuat dan
lekat.
"Huaaaaahhh...!!" Suro Bodong meronta sekuat tenaga.
Namun ketujuh perempuan itu memegangi tali dengan kokoh.
Sampai akhirnya tubuh Suro Bodong benar-benar tak dapat
bergerak dililiti tali yangsungguh mengherankan itu. Tali-tali
membentuk jaring yang lengket dan kini bahkan membungkus
tubuh Suro Bodong dari kepala sampai ke kaki. Nyumi dan Buli
berhenti menyerang, mereka hanya memandang dengan senyum
seringai kemenangan.
"Seret dia ke dalam...!!" teriak seseorang yang berdiri di
ambang pintu gerbang menuju dalam halaman istana. Mata Suro
sempat memandang perempuan itu yang ternyata adalah Laras Peri.
"Bawa dia ke kamar tahanan sekarang juga! Lekas!"
5
Ketujuh perempuan pemegang tali menyeret masuk Suro
Bodong ke dalam sebuah kamar yang berdinding logam, sama
dengan logam yang dipakai untuk membentengi halaman istana itu.
Suro Bodong seperti kepompong dibungkus jaring-jaring
aneh. Lebih aneh lagi ketika ketujuh perempuan itu menghentakkan
talinya satu persatu, ternyata tali-tali itu bisa mengkerut dan
menyatu kembali menjadi satu tali. Jaring tersebut bagai mengatup
dan menggumpal, dengan masing-masing perempuan memegang
satu tali utuh. Kemudian tali-tali yang sudah tidak berupa jaring itu
ditarik oleh ketujuh perempuan, maka bebaslah Suro Bodong dari
jerat aneh yang sangat mengherankan itu.
"Kau harus menyaksikan sendiri bagaimana istrimu
dijadikan tumbal pada malam tutup purnama nanti!" kata Laras Peri
setelah ketujuh perempuan berseragam kuning itu keluar dari
kamar, dan tinggal Suro Bodong dengan Laras sendiri.
Suro Bodong tak dapat bergerak leluasa untuk sementara
waktu, karena tulang-tulangnya terasa pegal dan linu-linu. Mungkin
akibat daya perekat pada jaring tali yang dirasakan semakin lama
semakin merekat erat dan seakan hendak meremukkan tulang. Suro
Bodong menggerak-gerakkan persendian tangannya, sementara
Laras Peri mengajaknya bicara dengan nada angkuh dan sinis.
"Tak kusangka kau akan senekad ini, Suro Bodong!"
"Mungkin akan lebih nekad lagi...! Hiaaat...!"
Di luar dugaan Suro Bodong menendang perut Laras Peri
dengan gerakan cepat. Laras Peri memang sempat mengibaskan
tangan kirinya untuk menangkis, tetapi kekuatan tendangan Suro
Bodong tetap saja membuat tubuh Laras Peri terpental ke belakang
dan menabrak pintu penjara.
"Braak...!"
Dua penjaga bergegas masuk, tetapi Laras Peri
memerintahkan agar pintu segera ditutup dan dikunci. Suro Bodong
tersenyum tenang sewaktu penjaga menutup pintu yang agaknya
terbuat dari logam serupa dinding tapi lebih tebal lagi. Suro sempat
tertawa pendek melihat Laras Peri menjadi tegang dan mengerang
saat tubuhnya tahu-tahu terpental karena tendangan Suro.
Pintu itu memang tebal dan kokoh, tetapi mempunyai
semacam jendela yang berjeruji. Ukuran jendela itu tidak terlalu
lebar, hanya cukup untuk menampakkan seraut wajah. Dan dari
jendela yang mempunyai pintu khusus itu wajah Laras muncul
dengan sorot mata kegeraman.
"Kau akan merasakan akibatnya, Suro! Kalau kau bisa tahan
dalam penjara ini, aku akan salut terhadapmu!" kemudian Laras Peri
memerintahkan kepada penjaga, "Tutup jendela ini...!"
Suara jendela yang ditutup semacam lempengan baja itu
terdengar. Agaknya cukup rapat juga jendela itu ditutup oleh
lempengan baja, karena ketika Suro memeriksanya, tak ada seberkas
sinar yang dapat dilihat dari luar tahanan. Ruangan itu cukup rapat.
Langit-langit kamar tinggi dan juga terbuat dari semacam almunium
tebal yang sulit dibocorkan. Ada tempat tidur yang terbuat dari
logam juga, berbentuk kotak panjang tanpa alas apa-apa. Sedangkan
lantai kamar itu, tetap seperti lantai tembus pandang yang dilihat di
luar benteng tadi, namun lantai ini agak buram dan tak bisa untuk
melihat keadaan di bawah. Di kamar itu ada meja marmer ukuran
kecil, ada pot bunga dari kramik dan ada bunga segar, seperti bunga
mawar namun besar dan kelopak bunganya kecil-kecil. Bukan
mawar. Hanya semacam mawar. Ada tiga tangkai bunga yang
warnanya merah muda semua. Entah apa maksudnya kamar
tahanan diberi pot bunga kecil dengan tiga tangkai bunga.
Baru beberapa saat kemudian Suro Bodong menyadari
bahwa tiga tangkai bunga itu adalah pemberitahuan atas kematian
yang akan tiba. Sebab, dari dinding kamar penjara itu ternyata
mempunyai beberapa lobang kecil sebesar jarum. Tiap lobang
memyemburkan asap biru samar-samar.
"Racun...?!" pekik Suro sendirian. Ia menjadi tegang. Asap
berwarna biru muda itu semakin banyak, dan menggumpal di
dalam kamar karena memang tak ada lobang pembuangan udara.
Mata Suro Bodong terbelalak melihat salah satu bunga itu layu, dan
mengering.
Buru-buru Suro Bodong tahan nafas, menutup hidungnya
dan memandang sekeliling dengan tegang. Gawat! Ini pertanda dia
akan mati karena asap racun itu.
Untung ingatan Suro Bodong sempat melayang pada sebuah
topeng yang diberikan Empu Segah sebelum ia berangkat. Ia mengambil
topeng tersebut yang disimpan di balik baju merahnya. Ia
memperhatikan topeng itu, dalamnya berisi semacam kain tebal
yang empuk. Kendati tidak tahu persis manfaatnya, Suro Bodong
segera mengenakan topeng itu di wajahnya.
Topeng terbuat dari kayu berwarna merah dengan wajah
seorang satria tampan itu membungkus wajah Suro Bodong.
Pernafasan Suro sedikit terganggu, karena topeng itu ternyata tidak
mempunyai lobang yang cukup untuk menghirup udara. Memang
di bagian hidung topeng ada lobang, namun tak seberapa besar. Dan
lobang pada matanya itu ternyata dilapisi suatu bahan mirip kaca
yang tidak tembus udara. Suro Bodong berpendapat, lebih baik
mengenakan topeng itu dengan sedikit kesukaran bernafas daripada
tanpa topeng tapi ia harus menghirup udara beracun dalam kadar
banyak. Kain yang melapisi dalam topeng itulah yang menjadi
penghalang pernafasan Suro Bodong. Tapi dia tidak perduli, sebab
dilihatnya, kini tiga bunga itu telah layu dan menjadi kering semua.
Berarti asap racun yang tersembur dari lobang-lobang dinding itu
sungguh berbahaya jika terhisap oleh pernafasan manusia. Untung
ia segera mengenakan topeng tersebut yang ternyata mampu
menyaring racun melalui kain pelapis di dalam topeng itu.
Asap semakin banyak. Bunga telah kering dalam keadaan
layu, lemas. Suro Bodong masih duduk memojok sambil mencari
cara untuk keluar dari kamar tersebut. Hatinya sedikit tenang
setelah dia mengetahui, bahwa topeng itu ternyata mampu menjadi
penangkal racun. Uap racun yang masuk melalui lobang hidung
topeng telah disaring dan diubah oleh lapisan tebal dalam topeng
tersebut menjadi udara biasa. Jika tanpa kain tebal yang dilengkapi
dengan ramuan khusus, maka udara yang masuk melalui lobang
topeng akan tetap berupa udara racun. Rupanya Empu Segah
memang ahli dihidang senjata, seperti halnya penggunaan topeng
anti racun itu.
Kendati uap itu bergulung-gulung memenuhi ruangan yang
sempit itu, namun Suro Bodong masih bisa bertahan tetap hidup
dan menunggu saat baik untuk lolos. Hanya saja, sebelum ia
menemukan cara untuk lolos, ternyata asap biru muda itu bagai
tersedot kembali dari lobang tempatnya menyembur tadi. Uap yang
bergulung-gulung memenuhi ruangan jadi menipis. Masing-masing
lobang kecil pada dinding sekarang berfungsi sebagai penyedot
udara. Suro Bodong menunggu sampai udara menjadi bersih
kembali tanpa uap beracun. Dan setelah beberapa lama, maka ruangan
itu pun kembali menjadi seperti semula. Uap biru muda
sudah tersedot habis. Tak ada asap tipis sedikit pun. Kini bahkan
yang ada udara dingin yang samar-samar merambat di dinding.
Udaranya cukup sejuk, terasa jelas menyentuh pori-pori kulitnya.
Suro Bodong membuka topeng merah berwajah satria
tampan. Dan ia merasakan kesegaran bernafas. Ia tersenyum, lalu
menyembunyikan topengnya ke balik baju merah, diselipkan di
bagian belakang. Di pinggang.
Udara benar-benar segar dan sejuk. Tak ada kesesakan
bernafas. Yang ada kini rasa lapar. Ya, perut Suro sekarang menjadi
terasa lapar sekali. Untung dia masih menyimpan biji-bijian seperti
kacang yang tadi dimakannya sebagian. Kini ia memakan sisa bijibijian
itu dengan lahap. Sambil mengunyah biji-bijian yang terasa
seperti makan kacang kedelai itu, Suro memeriksa seluruh ruangan
tersebut. Ah, tak ada celah yang bisa memungkinkan untuk lolos.
Sambil duduk melonjor, punggung Suro Bodong bersandar
pada dinding. Ia menghadap ke pintu masuk yang cuma ada satusatunya
itu. Ia sedang berpikir di mana kira-kira istrinya ditawan
untuk menunggu saat dijadikan tumbal? Lalu, ia memutuskan untuk
berusaha lolos dari kamar tahanan ini dengan cara tidak
menimbulkan keonaran, supaya ia dapat menyusup dan menyelidiki
keadaan di dalam istana yang merupakan ruang utama keratuan.
Tiba-tiba pintu tebal itu dibuka oleh penjaga. Seraut wajah
yang sudah dikenal muncul: wajah Laras Peri. Wajah itu terbelalak
kaget melihat Suro Bodong duduk dengan santainya. Hal itu pasti
dikarenakan Laras Peri mengira Suro Bodong telah mati, atau
setidaknya pingsan akibat racun yang disemburkan dari lobang
dinding itu. Tapi, nyatanya ia melihat Suro Bodong dalam keadaan
segar bugar tanpa kurang satu apa pun.
Keadaan Suro Bodong yang berhenti mengunyah makanan
yang terakhir itu membuat Laras Peri menjadi ragu-ragu untuk
mendekat. Hanya matanya yang tajam dan bening itu yang menatap
Suro Bodong penuh kesangsian.
Dengan sengaja Suro Bodong tersenyum ramah, matanya
berkerling seakan menggoda Laras Peri.
"Kau memandangku seperti setan melihat kemenyan," kata
Suro Bodong. "Apa kau kira aku akan mati karena asap beracun itu?
O, tidak! Aku tidak akan bisa diracuni lagi, sebab tubuhku sudah
penuh dengan racun."
Suro Bodong bahkan lebih merebah lagi, seakan tidak
perduli dengan kesempatan pintu terbuka itu. Laras Peri menjadi
semakin ciut nyalinya. Ia berkata dengan suara pelan dan datar:
"Kurasa kau iblis, bukan manusia! Kau bisa bertahan
menerima racun Naga Biru, ini sangat di luar dugaan. Biasanya
setiap tawanan akan mati dalam keadaan kering dan rapuh tulangtulangnya
jika menghirup racun itu terlalu banyak. Tapi kau... kau
benar-benar iblis yang sulit dimatikan...."
Sekali pun Suro Bodong sebenarnya merinding mendengar
keterangan itu, namun ia memaksakan diri untuk tertawa dengan tenang.
"Ha, ha, ha... kau pikir aku ini lampu minyak yang gampang
dimatikan?!" Suro Bodong semakin menertawakan keadaan Laras
Peri yang tertegun memperhatikannya.
"Sekarang, sebaiknya kembalikan istriku dan aku akan
membiarkan kalian hidup," ancam Suro Bodong dengan santai.
Laras Peri mulai mendengus.
"Jangan mengharap kami mundur karena gertakanmu. Kau
akan menemui ajal pada saatnya nanti, Suro Bodong!"
Laras Peri hendak pergi, tetapi Suro Bodong segera berseru,
"Tunggu...!" ia bangkit dan berjalan dengan tenang
mendekati Laras Peri. Laras Peri sudah siap memegangi senjata
cakra yang terselip di pinggangnya. Matanya memandang tegang,
seakan penuh waspada. Tetapi yang dipandang hanya tersenyumsenyum
dan tak perduli akan kesigapan Laras Peri. Suro Bodong
semakin dekat dan berhenti melangkah ketika Laras Peri sudah
mencabut senjata cakranya.
"Sebenarnya apa yang kalian butuhkan di sini?" kata Suro
Bodong dengan suara pelan, seakan bersungguh-sungguh dalam
berembuk.
"Tumbal! Dan istrimu itulah yang menjadi pilihan kami!"
Laras Peri menjawab dengan tegas.
"Selain tumbal...?" Suro memancing.
Laras Peri diam, matanya makin tajam karena Suro Bodong
semakin maju satu langkah.
"Apakah kau dan yang lainnya tidak membutuhkan seorang
lelaki?" bisik Suro Bodong.
Laras Peri diam. Masih belum mampu mengucapkan kata
apa pun. Bahkan kini Suro Bodong sangat dekat dengannya. Suro
berbisik lagi:
"Bagaimana kalau kita tukar tawanan?"
Setelah diam beberapa saat, terdengar suara Laras Peri
dengan lirih, "Apa maksudmu...?"
"Lepaskan istriku, dan tawanlah aku sebagai teman
berkencan. Lalu, kita cari bersama putri raja lainnya untuk
pengganti tumbal pada saatnya nanti..."
Wajah Suro Bodong tepat di depan wajah Laras Peri. Mata
yang kecil tapi bening dan tajam itu menatap Suro Bodong dalam
kebimbangan. Senjata cakra hanya dipegangnya tanpa digunakan
untuk berbuat sesuatu. Bahkan ketika Suro Bodong meraba pelanpelan
pipi Laras Peri, perempuan itu masih mematung dengan
mulut sedikit terperangah.
"Jangan katakan kepada istriku tentang rencana ini.
Kuharap, kau dan ratumu mau menerima usulku ini. Dan... kau
akan mendapat kesempatan yang istimewa dariku. Kau belum tahu
siapa aku, bukan? Mungkin kau bisa bertanya dulu kepada istriku
tentang kekuatan suaminya dalam malam-malam yang dingin
dicekam kesunyian. Tanyakanlah dulu, nanti kau baru tahu apa
yang seharusnya kau lakukan. "
Laras Peri tidak berkata apa pun. Ia memperhatikan Suro
Bodong dengan dada bergemuruh. Semakin Suro Bodong
menyentuh-nyentuh bibir Laras Peri yang mirip kuncup bunga
melati itu, semakin berdebaran hati Laras Peri dibuatnya. Ia hanya
merenggangkan sedikit bibirnya dan terpaku di tempat. Lebih-lebih
setelah Suro Bodong berbisik,
"Ratu dan kau akan mendapat pelayanan yang berbeda.
Sebab, bagaimana pun juga, kau adalah perempuan yang memenuhi
seleraku. Kau cantik, tapi galak. Itu yang kusuka. Sebab itu aku
bertekad menyusul ke mari dengan alasan membebaskan istriku,
tapi sebenarnya kaulah yang kuburu."
Suro Bodong semakin mendekat wajah, lalu berbisik dengan
lebih pelan lagi:
"Kau mau membuktikannya nanti malam?"
Laras Peri seperti orang terkena hipnotis, diam tanpa bisa
bergerak sedikit pun. Ketika Suro Bodong mencium pipinya, dan
kumisnya yang tebal menggelitik kulit wajah Laras Peri, perempuan
itu semakin gemetaran dan berdebar-debar. Lalu, Suro Bodong
berbisik sangat pelan:
"Kurasa kau bisa membunuhku kalau aku bohong...
nikmatilah tawanan ini, Laras.... nanti kita cari tumbal lain..." Laras
masih terbungkam kendati ia mendesah lirih lewat hembusan
nafasnya yang tersendat-sendat.
"Kau setuju?" bisik Suro Bodong. "Kau yang istimewa...."
Lama-lama Laras menjauh setelah Suro Bodong
merenggangkan wajah. Kemudian mata yang masih menatap itu
berkedip lembut, dan suara Laras terdengar pelan: "Akan
kubicarakan dulu dengan ratu... aahh..." ia mendesah dan pergi.
Suro Bodong tersenyum lega. Ada usaha halus yang mulai
terlihat tanda-tandanya. Ia mulai mengerti bagaimana cara
menaklukkan orang-orang Istana Awan ini yang terdiri dari
perempuan semua. Salah satu cara untuk menaklukkannya adalah
dengan cara buaian asmara yang amat dikuasai oleh Suro Bodong.
Jika dengan kekerasan terlalu dini, bisa jadi istrinya yang akan
mengalami bencana menyedihkan. Dengan cara buaian asmara itu,
Suro berharap agar istrinya dapat diselamatkan tanpa luka sedikit
pun.
Yang membuat Suro Bodong lebih lega lagi, adanya sebuah
hidangan yang diantar oleh seorang perempuan berseragam hijau
tua. Hidangan itu cukup mewah, buah-buahnya segar, dan
panggang ayam yang dimasak dengan sangat menarik itu membuat
Suro Bodong tersenyum-senyum. Bau masakan sedap sempat
membuat perut Suro Bodong berkuku-ruyuk karena seleranya
membara.
"Makanan ini apa tidak terlalu mewah untuk seorang
tawanan seperti aku?" kata Suro kepada perempuan cantik berambut
panjang terurai yang membawakan makanan itu.
"Panglima Putri yang menyuruhku menghidangkan
makanan ini," jawab perempuan itu.
"Panglima Putri? Siapa dia? Aku belum kenal."
"Panglima Putri Laras Peri... Masa' kau belum kenal
dengannya."
"O, Laras Peri? Dia itu panglima di sini?"
"Benar. Dan aku adalah kakaknya! Namaku Panjar Arum."
Perempuan itu tersenyum lebar, manis sekali. Bibirnya
memang lebih lebar dari bibir Laras, tapi bibir itu cukup tipis dan
mengundang gairah bila tersenyum. Suro Bodong memperhatikan
wajah Panjar Arum yang mempunyai kemiripan denjgan Laras Peri,
terutama pada matanya yang kecil tapi bening dan tajam. Bulu
matanya lentik dengan hiasan alis yang melengkung indah. Mata itu
memang mirip sekali dengan mata milik Laras Peri. Hanya saja,
tubuhnya lebih padat dan sedikit besar ketimbang tubuh Laras Peri.
Juga dada Panjar Arum kelihatan lebih menonjol dan berisi
ketimbang dada Laras Peri.
"Kenapa Laras Peri menyuruhmu memberikan hidangan
ini?" Suro Bodong ingin mengorek segalanya.
Panjar Arum yang mengenakan baju longgar warna hijau itu
duduk di kotak logam yang panjang. Ia menyibakkan rambutnya
yang panjang, yang jatuh ke dada dan dirapikan kebelakang.
"Banyak yang telah diceritakan oleh Laras Peri,"
Suro Bodong melirik ke pintu, oh... agaknya pintu dikunci
kembali. Pasti penjaga takut kalau Suro Bodong menyempatkan diri
untuk lolos dari kamar tahanan itu.
"Apa yang kau dengar dari Laras Peri?" pancing Suro sambil
mengambil buah anggur berwarna hijau bening.
Panjar Arum tertunduk malu.
"Dia menceritakan tentang diriku?"
"Ya," jawab Panjar Arum yang merasa kikuk dipandang
Suro Bodong senanap itu. Suro Bodong sendiri mengakui bahwa
kulit Panjar Arum ini kelihatan lebih halus, lebih lembut dan lebih
mulus ketimbang kulit Laras Peri. Warnanya pun lebih kuning,
bersih, daripada kulit Laras Peri. Ini menandakan Panjar Arum tidak
pernah keluar dari istana dan lebih tekun merawat tubuhnya.
"Ceritakan apa yang kau dengar dari Laras Peri, kalau-kalau
ternyata dia menipumu; Aku bisa membetulkannya."
Setelah tersenyum malu. Panjar Arum mengatakan:
"Dia menceritakan telah bertemu dengan lelaki yang jantan
dan perkasa. Namanya... Suro Bodong, dan dia ada dalam tahanan.
Tetapi... kata Laras, tawanannya kali ini sungguh merupakan
tawanan yang hangat."
"Dia bohong!"
"Dia pernah kau sentuh dengan kumisnya, bukan?"
"Ah, dia bohong! Aku hanya menciumnya tanda aku sangat
bergairah terhadapnya."
"Terhadapnya saja?"
Pancingan itu membuat Suro Bodong tersenyum. Bau harum
tercium dari tadi, namun kali ini lebih tajam dan nyata. Ini akibat
Suro Bodong berdiri tepat di depan Panjar Arum. Perempuan itu
menengadah memandang wajah Suro. Ia tetap duduk di depan Suro
tanpa bergeser.
"Kudengar darinya, kau mau memberi sentuhan kepada
kami asal kau bertukar tawanan."
"Ya. Asal istriku dibebaskan dari genggaman Sri Ratu Manis.
Aku sanggup mencari penggantinya yang sama-sama putri raja juga"
"Dan kau bersedia menjadi pelayan kenikmatan kami? Kau
mau membagi kehangatanmu itu, bukan?"
"Kalau memang aku mau, kenapa?"
"Itulah sebabnya aku dikirim ke mari untuk membuktikan
keterangannya tentang kamu."
Suro Bodong mengerti gelagat yang dihendaki perempuan
berkulit mulus itu. Maka, dengan tetap berdiri di depan Panjar
Arum yang duduk itu, Suro Bodong mengusap rambut Panjar
Arum.
"Apakah aku harus memulai dari kamu?" kata Suro.
Panjar Arum menengadah dan berkata pelan, "Dia
mengizinkan kakaknya untuk menyelam dalam kehangatanmu lebih
dulu. Apa kau keberatan kalau aku mengawalinya?"
Tangan Panjar Arum mulai gerayangan tak karuan. Ada
sesuatu yang diremas lembut dan Suro Bodong mendesah lalu
berkata:
"Tubuhku kotor... aku harus membersihkan tubuh dulu.
Aku butuh mandi."
"Tak perlu. Justru yang dalam keadaan seperti ini yang
menjadi seleraku..." Panjar Arum semakin berani, merayap kian ke
mari seperti tangan seorang dukun pijat.
"Bagaimana dengan penjaga di depan kamar ini?" bisik Suro
Bodong ketika Panjar Arum semakin menjadi binal.
Nafasnya sesekali tersengal dan ia pun menjawab, "Penjaga
tetap akan menjaga kita. Ohh... ternyata Laras Peri tidak berbohong
padaku."
"Soal apa?"
"Keperkasaanmu...!" Panjar Arum mendengus-dengus.
"Sungguh di luar dugaan. Kukira hanya biasa-biasa saja, ternyata ini
lebih dari sekedar jarum. Kurasa... kurasa ini sebuah tombak yang
kucari selama ini... yaaah...!" Panjar Arum dibiarkan melahap apa
yang hendak dilahap. Tetapi dalam hati Suro Bodong timbul
berbagai pertanyaan yang membingungkan diri sendiri.
Mengapa jadi seperti ini? Ia memandang pusakanya sendiri,
begitu hebatnya?! Dia heran. Dia nyaris tidak percaya kalau dia
memiliki suatu kebesaran yang memang amat besar dan menggugah
birahi perempuan. Padahal seingatnya, ia tidak memiliki senjata
seperkasa sekarang. Mengapa kini ia seperti memiliki barang baru
yang lebih hebat dari barang miliknya semula? Aneh!
Ada suara benda bergeser, Suro Bodong melirik ke kiri, dan
ia melihat dinding bagian atas ternyata dapat digeser seukuran 3X4
jengkal tangan dewasa. Ada semacam kaca gelap di sana, dan Suro
buru-buru memahami, bahwa di balik kaca gelap itu pasti ada wajah
manusia dua atau tiga orang yang dapat memandang ke arah kamar
itu. Pasti ada yang sengaja memperhatikan adegan tersebut dari
balik kaca hitam. Suro berlagak tidak tahu, namun ia semakin
memainkan gaya yang mampu mengundang gairah bagi mereka.
Mungkin Sri Ratu Manis sendiri yang sengaja mengirim Panjar
Arum untuk menguji sampai di mana kehebatan Suro Bodong.
"Kenapa tidak kau lepas saja pakaianmu?" bisik Suro
Bodong karena Panjar Arum sudah melucuti busana yang dikenakan
Suro Bodong.
"Panjar Arum... kenapa tidak kau lepas saja perintangmu
itu...?" ulang Suro Bodong yang diterkam terus oleh Panjar Arum.
Perempuan itu berhenti sebentar dan berkata,
"Kalau kau bisa melucutinya, kenapa tidak kau lakukan
saja...? Lakukanlah dan aku akan bekerja untukmu... Hmmm...?"
Panjar Arum memandang dengan sorot mata sayu. Suro
Bodong tak mau mendapat izin dua kali, segera jari-jemarinya
beraksi di sekujur tubuh Panjar Arum.
Makin lama, Suro Bodong semakin heran dengan barang
miliknya. Sungguh heran. Karena selama ini ia merasa tidak
memiliki kebesaran dan kepanjangan senjata rahasia yang saat ini
dilihatnya. Ia sempat bertanya, senjata siapakah yang ia kenakan
itu? Mengapa menjadi sebegitu megah dan kokoh? Benar-benar
suatu kejantanan yang menggelitik hati perempuan. Panjar Arum
sendiri menjadi tergila-gila dan tidak memperdulikan lagi gincu
tipis di bibirnya yang mempunyai aroma harum itu. Ia menghapus
gincu itu dengan kebesaran yang amat didambakan, dan kebesaran
itulah yang kini menjadi milik Suro Bodong.
"Lakukanlah...! Lakukanlah apa kau mau...!" bisik Panjar
Arum. Suro Bodong memanfaatkan perintah itu untuk hal lain. Ia
berbisik ketika wajahnya naik, menyusuri perut ke dada dan ke
leher, kemudian ke telinga:
"Di mana Sendang Wangi? Lekas katakan...."
"Ooh... lakukanlah sekarang juga... lakukanlah...!" Panjar
Arum merintih.
"Di mana tumbal itu ditawan? Di mana...? Tidak akan
kulakukan sebelum kuketahui tempat tumbal itu ditawan?!"
"Oh, kau menyiksaku...!" rengeknya. "Tawanan itu ada di
ruang bawah tanah... Lekas lakukan, oooh... tolonglah..."
Suro Bodong menggeluti dengan desah berpacu dengan
desah. Ia masih sempat berbisik:
"Di ruang bawah tanah yang mana? Bukankah istana ini
tidak menyentuh tanah?"
"Bukan... bukan di ruang bawah tanah, maksudku... di
bawah kamar ratu... di bawah kamar ratu...."
"Aku ingin menemuinya...."
"Lakukanlah dulu, ooh... jangan siksa aku... lakukanlah,
setelah itu kau bebas menemuinya di ruang berpintu bulat. Cepat...
aaah...!!" rengekan itu semakin tajam dan jelas.
Akhirnya Suro Bodong melakukan apa yang diinginkan
Panjar Arum. Percaya atau tidak, Suro Bodong sudah punya sasaran,
yaitu ruang di bawah kamar ratu, berpintu bulat. Entah benar atau
tidak, tapi Suro Bodong tetap akan mencoba mendobrak pintu
kamar itu setelah melakukan keinginan Panjar Arum.
Ketika terkena udara di luar, sesuatu yang amat perkasa itu
telah menjadi mengendur, surut, dan mengecil kembali. Suro
Bodong sendiri memandang penuh keheranan dan merasa takut
yang membingungkan. Lalu ia teringat biji-bijian yang mirip kacang
pemberian Empu Segah. Apakah hal itu juga dikarenakan ia
memakan habis biji-bijian itu? Apakah kacang yang dimakan itu
mempunyai keistimewaan dapat membunuh perempuan dengan
kebesaran seperti itu? Entahlah.
Yang jelas, ia mendengar pintu kamar segera dibuka oleh
penjaga, lalu beberapa orang menghambur masuk dan berteriak:
"Sri Ratu...?! Sri Ratu Manis dalam bahaya...! Lekas bawa
keluar beliau...!"
Tetapi pada saat itu, semua orang yang ada di situ berteriak
nyaring karena Panjar Arum melepaskan nafasnya yang penghabisan.
Banjir darah melimpah di lantai dan membuat suasana menjadi
sangat mengerikan. Suro Bodong buru-buru mengenakan pakaiannya
termasuk perlengkapan yang diberikan oleh Empu Segah.
"Ratu tewas...! Tidaaak...!! Kau membunuh ratu kami!"
Suro Bodong mendesah oleh amukan orang-orang yang
berseragam kuning gading itu. Mereka menuduh Suro Bodong telah
membunuh ratu mereka.
"Aku tidak membunuh ratumu! Itu Panjar Arum...! Dan..."
"Dialah ratu kami! Dia Sri Ratu Manis yang sengaja
menemuimu dengan menyamar sebagai perempuan biasa bernama
Panjar Arum...!!"
"Mana aku tahu?! Dia tidak bilang kalau dia ratu...! Dan lagi,
dia mati karena ulahnya sendiri. Aku tidak berbuat apa-apa, dia
yang berbuat jingkrak-jingkrak seenaknya!"
"Kau membunuh ratu kami, seraaaaang...! Serang dia...!"
Pedang dihunus oleh para perempuan berseragam kuning.
Suro Bodong ada dalam posisi tersudut. Ia kebingungan
menghindari pedang-pedang yang bersimpang siur hendak
membunuhnya. Bahkan pundaknya sempat tergores pedang salah
satu dari prajurit berseragam kuning itu.
Suro dapat memastikan ia akan mati dalam posisi terjepit
seperti itu. Maka, ia pun ingat tiga butir batu pemberian Empu
Segah. Ia mengambilnya sebutir dan melemparkannya kuat-kuat
hingga menghantam dinding. Dan, di luar dugaan, ternyata batu itu
meledak dengan cukup dahsyat dan kuat. Suro Bodong segera
merunduk di bawah kaki mereka. Ledakan itu menjebolkan dinding
dan membuat beberapa orang menjadi hancur, terutama yang dekat
dengan ledakan tadi. Sementara itu, Suro Bodong sendiri tertimbun
dinding dan mayat orang-orang yang berlumur darah. Tak satu pun
yang hidup, kecuali Suro Bodong yang selamat karena tertindih
tubuh perempuan-perempuan itu.
Dengan susah payah Suro Bodong berusaha keluar dari
timbunan mayat dan logam kuat dari pecahan dinding itu. Oh,
ternyata hari sudah menjadi malam. Ia tak sadar akan hal itu. Sinar
bulan masih kelihatan memancarkan cahayanya ke bumi. Dan sinar
bulan itu menampakkan betul sosok orang-orang perempuan yang
berdiri membentengi reruntuhan kamar tahanan. Mereka semua
berpedang dan siap menghabisi nyawa Suro Bodong.
"Itu dia...! Dia masih hidup...!" teriak salah seorang.
Kemudian mereka beramai-ramai menyerbu Suro Bodong dengan
pedang terangkat ke atas dan siap ditebaskan.
Suro Bodong tergeragap sebentar. Kemudian ia
mengeluarkan sepotong kayu pemberian Empu Segah. Ia tak tahu
kayu itu berguna untuk apa, tapi menurut pesan, kayu itu dibuang
saja di sembarang tempat. Karena Suro yakin bahwa Empu Segah
pasti tidak sia-sia memberikan kayu tersebut. Maka, ia pun
membuang kayu itu, seakan dilemparkan kepada kerumunan orang
yang hendak mendekatinya.
Dua orang maju dari belakang dan hendak menghunjamkan
pedangnya ke punggung Suro. Tetapi Suro segera melompat dan
menendang kedua tangan orang itu. Kedua pedang terlepas dari
genggaman lawan, lalu tangan Suro kedua-duanya menghantam ke
depan, dan kedua lawan itu terpental jatuh. Suro Bodong punya
kesempatan untuk melarikan diri. Seorang menghadang dengan
tombak di tangan. Suro Bodong melompat dengan gerak tendangan
berputar di udara.
"Aaaooh...!!" orang itu terpental terkena kibasan tendang
kipas Suro Bodong. Lalu ia berlari lagi ke suatu tempat, yaitu
halaman depan istana. Namun sebelumnya ia sempat mendengar
suara perempuan-perempuan berteriakan, menjerit dalam ketakutan
dan berlarian tunggang langgang. Suro berhenti dari larinya,
memandang ke arah mereka. Ia mengira ada bantuan dari pihak lain
yang tak dikenal, ternyata dugaannya meleset. Perempuanperempuan
itu menjerit-jerit karena tubuh mereka disengat
kalajengking hitam. Banyak binatang kalajengking yang tersembul
dari tanah dan menyebar ke mana-mana. Jumlahnya lebih dari dua
ratus ekor kalajengking hitam berkepala besar. Mereka merayap ke
setiap tubuh dan menyengatnya tanpa ampun lagi.
Suro Bodong segera menyadari bahwa kayu yang
dibuangnya tadi mengundang banyak ketonggeng atau kalajengking
bermunculan dari tanah. Tapi... tapi bukankah istana ini
mengambang, tidak menyentuh tanah? Lantas dari mana binatang
itu bermunculan?
"Istana mendarat...!! Istana mendarat...!!" seru seorang yang
keluar dari menara pengawas. Dan seruan itu mebuat suasana
menjadi semakin kalang kabut. Rupanya istana sudah menapakkan
landasannya ke tanah dan barangkali segala kekuatan yang melapisi
istana itu telah punah sejak tewasnya Ratu Manis yang mengaku
bernama Panjar Arum itu.
Suro Bodong hampir saja terkena lemparan tombak dari
seseorang yang muncul di belakangnya. Untung ia segera
menangkap tombak itu, dan kembali dilemparkan ke orang tersebut
sehingga orang itu tak sempat menghindar karena cepatnya.
Tombak menancap di pinggang orang itu, dan Suro Bodong berlari
ke tengah lapangan yang ada di depan serambi istana. Di sana
memang ada tempat luas, berbentuk lukisan bulat dengan wajah
bunga matahari. Suro Bodong buru-buru meletakkan cermin kecil
berbentuk bulat tapi bersusun segitiga. Tiga cermin bulat yang
setiap sisinya bertautan itu diletakkan persis di tengah lingkaran
gambar bunga matahari. Pada saat itu. Laras Peri berteriak sambil
menghunus pedangnya:
"Suro...!! Hentikan tindakanmu atau istrimu kubunuh
sekarang juga!!"
Laras mengancam Sendang Wangi dengan pedang di leher.
Suro Bodong menjadi tegang, kebingungan. Ia bergerak ke samping
dengan hati-hati. Ia ingin membujuk Laras Peri, namun pada saat itu
ternyata cermin yang diletakkan di tengah lingkaran itu
memancarkan sinar hijau bening. Sinar itu memancar ke mana-mana
dan membuat beberapa letupan, mengenai beberapa orang dan
membuat orang itu terbakar. Laras Peri sendiri tiba-tiba menjerit dan
jatuh terguling-guling dari serambi istana.
"Nyai... cepat ke mari...!" Suro Bodong segera menangkap
istrinya yang melompat kepadanya. Saat itu. Laras Peri masih
sempat berdiri.
"Kangmas... hati-hati terkena sinar dari cermin itu...!"
Rupanya cermin itu bukan sekedar cermin. Empu Segah
telah mengaturnya dan membuat sedemikian rupa, sehingga apabila
cermin itu terkena cahaya bulan, akan memantulkan suatu kilatan
api warna hijau muda, api itu berkelok-kelok dan menimbulkan
ledakan jika terkena tubuh orang-orang Istana Awan. Nyatanya,
kilatan sinar itu terkena di kaki Suro Bodong, tidak menimbulkan
ledakan yang membakar.
"Kangmas...! Awas senjata itu...!"
Suro Bodong dengan istrinya sama-sama merunduk ketika
senjata cakra melesat dan berputar-putar mencari mangsa. Suro
Bodong segera mencabut pedang pusakanya yang tersimpan di
dalam kulit lengan kirinya. Begitu ia meraba lengan kirinya dan
menariknya dengan suatu hentakan khusus, maka tangan kanan
Suro Bodong pun telah memegang pedang yang berpijar
memancarkan sinar warna ungu. Laras Peri setengah terkejut
melihat Pedang warna ungu. Itulah Pedang Urat Petir yang menjadi
pusaka Suro Bodong.
Ketika senjata cakra yang melayang-layang itu hendak
menghantam istri Suro dari belakang. Pedang Urat Petir segera
ditebaskan dan terjadilah percikan api dalam suatu letupan kecil
akibat pedang Suro menebas senjata cakra. Senjata itu sendiri hancur
menjadi beberapa potong dan tak mampu berbuat lebih banyak lagi
kecuali menjadi sampah.
Laras Peri semakin turun nyalinya. Ia melarikan diri, tetapi
Suro Bodong segera melancarkan suatu jurus yang bernama Jurus
Pedang Jitu.
Ia melemparkan Pedang Urat Petir ke udara sampai
berputar tujuh kali. Kemudian ia menyongsong turunnya pedang
dengan suatu tendangan yang mengenai gagang pedang. Maka
pedang itu melesat ke arah Laras Peri dalam keadaan pecah menjadi
tujuh bagian. Masing-masing bagian menyerang Laras Peri dan
beberapa orang yang ada di sekitarnya. Kemudian terdengar
teriakan Laras Peri yang dihunjam oleh salah satu pecahan pedang,
juga teriakan beberapa di sekitarnya yang juga terkena pecahan
pedang. Ketika mereka bergelimpangan, pecahan pedang itu
melayang terus dan kembali membentuk satu bagian, tergenggam
erat di tangan Suro Bodong.
"Lekas tinggalkan tempat ini...!" teriak Suro Bodong sambil
menggeret istrinya.
"Kakang, ada kalajengking banyak...!!" Sendang Wangi
menjerit. Ia jijik dengan binatang kalajengking. Mau tak mau Suro
Bodong segera memanggul istrinya ke pundak. Dan ia segera berlari
menjauh. Berhenti sebentar, lalu melemparkan dua butir batu sisa
pemberian Empu Segah itu. Satu batu dilemparkan ke serambi
istana dan satu dilemparkan ke kerumunan orang-orang yang
hendak mengejar Suro Bodong menjadi berkeping-keping karena
ledakan tersebut.
Kobaran api menyala di sana-sini, pekik dan jeritan mereka
menjadi seperti suara dari neraka. Suro Bodong segera melompat ke
benteng pembatas halaman, lalu melompat ke luar halaman. Istrinya
diturunkan, dan ia berseru:
"Lekas lari...! Ayo, lari sekencang-kencangnya. Di sini sudah
tidak ada kalajengking lagi...!"
Suro Bodong dan istrinya melarikan diri masuk ke semaksemak
hutan belukar. Namun tiba-tiba tangan Suro Bodong ada
yang menyeretnya ke tempat lain, dan ternyata orang itu adalah
Empu Segah.
"Cepat merunduk... istana itu akan meledak...!"
Tepat ketika istri Suro Bodong merunduk, ledakan tak
terhingga kerasnya berbunyi menggelegar. Tanah semakin bergetar
dan air telaga memercik ke mana-mana.
"Ada gas racun di sana yang bisa meledak apa bila terkena
percikan api!" kata Empu Segah.
Suro dan istrinya menggumam terheran-heran. Suro
berbisik kepada Empu Segah, "Ratu mati ketika ia bercinta
denganku. Tapi mengapa bisa menjadi besar kekuatanku ini? Kasihan
istriku nanti...."
"Biji-bijian itu penyebabnya. Dan... ketahuilah, bahwa darah
dan cairan yang ada dalam tubuh mereka berbeda dengan kita, sehingga
bisa membuat kekuatanmu bertambah. Mereka itu bukan
orang-orang kita."
"Maksudnya?"
"Orang-orang dunia lain. Dan istana itu menurutku hanya
sebuah kendaraan dari luar dunia kita..." Suro Bodong menggumam
sambil menggenggam tangan istrinya. Ia tertegun kaku.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar