Dynasty Tengara
Dahulu kala kaum suku Tidung yang bermukim dipulau Tarakan, popular juga dengan sebutan kaum Tengara, oleh karena mereka mempunyai pemimpin yang telah melahirkan Dynasty Tengara. Berdasarkan silsilah (Genealogy) yang ada bahwa, bahwa dipesisir timur pulau Tarakan yakni, dikawasan binalatung sudah ada Kerajaan Tidung kuno (The Ancient Kingdom of Tidung), kira-kira tahun 1076-1156. Kemudian berpindah kepesisir barat pulau Tarakan yakni, dikawasan Tanjung Batu, kira-kira pada tahun 1156-1216. Lalu bergeser lagi, tetapi tetap dipesisir barat yakni, kekawasan sungai bidang kira-kira pada tahun 1216-1394. Setelah itu berpindah lagi, yang relatif jauh dari pulau Tarakan yakni, kekawasan Pimping bagian barat dan kawasan Tanah Kuning, yakni, sekitar tahun 1394-1557.Kerajaan Dari Dynasty Tengara ini pertama kali bertakhta kira-kira mulai pada tahun 1557-1571 berlokasi di kawasan Pamusian wilayah Tarakan Timur.Raja-raja dari Dynasty Tengara
Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet (1557-1571) Amiril Pengiran Dipati I (1571-1613) Amiril Pengiran Singa Laoet (1613-1650) Amiril Pengiran Maharajalila I (1650-1695) Amiril Pengiran Maharajalila II (1695-1731) Amiril Pengiran Dipati II (1731-1765) Amiril Pengiran Maharajadinda (1765-1782) Amiril Pengiran Maharajalila III (1782-1817) Amiril Tadjoeddin (1817-1844) Amiril Pengiran Djamaloel Kiram (1844-1867) Datoe Maoelana/Ratoe Intan Doera (1867-1896) Datoe Adil (1896-1916)
Hubungan dengan Kesultanan Bulungan
Di antara kedua kerajaan tersebut terdapat hubungan yang erat, sebagaimana layaknya seperti orang bersaudara karena saling diikat oleh tali Perkawinan. Meskipun demikian proses saling mempengaruhi tetap berjalan secara halus dan tersamar, karena salah satu diantaranya ingin lebih dominan dari yang lainnya. Dengan Demikian tidak dapat dielakkan bahwa persaingan terselubung antara keduanya merupakan masalah laten yang adakalanya mencuat kepermukaan. Dalam hal ini pihak penjajah Hindia Belanda cukup jeli memanfaatkan masalah itu, maka semakin serulah hubungan keduanya, bahkan menjadi konflik politik yang tajam, sehingga akhirnya tergusurlah Kerajaan dari Suku kaum Tidung tersebut.Demografi kawasan
Kawasan Kalimantan Timur bagian utara secara umum penduduk aslinya terdiri dari tiga jenis suku bangsa yakni : Tidung, Bulungan dan Dayak yang mewakili tiga kebudayaan yaitu Kebudayaan Pesisir, Kebudayaan Kesultanan dan Kebudayaan Pedalaman.Kaum suku Tidung umumnya terlihat banyak mendiami kawasan pantai dan pulau-pulau, ada juga sedikit ditepian sungi-sungai dipedalaman umumnya dalam radius muaranya. Kaum suku Bulungan kebanyakan berada di kawasan antara pedalaman dan pantai, terutama dikawasan Tanjung Palas dan Tanjung Selor. Sedangkan kaum suku Dayak kebanyakan mendiami kawasan Pedalaman. Kalangan suku Dayak yang terdengar dan Popular adalah bernama suku Dayak Kenyah. Suku Dayak memiliki banyak sub-suku bangsa mereka tersebar dikawasan pedalaman dan dan memiliki berbagai macam nama.Suku Tidung
Adapun mengenai suku kaum Tidung, mata pencaharian andalannya adalah sebagai Nelayan, disamping itu juga bertani dan memanfaatkan hasil hutan. Berdasarkan dokumen dan informasi tertulis maupun lisan yang ada bahwa, tempo dulu dikawasan Kalimantan Timur belahan utara terdapat dua bentuk pemerintahan, yakni : Kerajaan dari kaum suku Tidung dan Kesultanan dari kaum suku Bulungan. Kerajaan dari kaum suku Tidung berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu, Sedangkan Kesultanan Bulungan berkedudukan di Tanjung Palas.Riwayat tentang kerajaan maupun pemimpin (Raja) yang pernah memerintah dikalangan suku Tidung terbagi dari beberapa tempat yang sekarang sudah terpisah menjadi beberapa daerah Kabupaten antara lain Kabupaten Bulungan (Kecamatan Tanjung Palas, Desa Salimbatu), Kabupaten Malinau, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Nunukan (Kecamatan Sembakung), Kota Tarakan dan lain-lain hingga ke daerah Sabah (Malaysia) bagian selatan.
Dari riwayat-riwayat yang terdapat dikalangan suku Tidung tentang kerajaan yang pernah ada dan dapat dikatakan yang paling tua diantara riwayat lainnya yaitu dari Menjelutung di Sungai Sesayap dengan rajanya yang terakhir bernama Benayuk. Berakhirnya zaman kerajaan Menjelutung karena ditimpa malapetaka berupa hujan ribut dan angin topan yang sangat dahsyat sehingga mengakibatkan perkampungan di situ runtuh dan tenggelam kedalam air (sungai) berikut warganya. Peristiwa tersebut dikalangan suku Tidung disebut Gasab yang kemudian menimbulkan berbagai mitos tentang Benayuk dari Menjelutung.
Dari beberapa sumber didapatkan riwayat tentang masa pemerintahan Benayuk yang berlangsung sekitar 35 musim. Perhitungan musim tersebut adalah berdasarkan hitungan hari bulan (purnama) yang dalam semusim terdapat 12 purnama. Dari itu maka hitungan musim dapat disamakan +kurang lebih dengan tahun Hijriah. Apabila dirangkaikan dengan riwayat tentang beberapa tokoh pemimpin (Raja) yang dapat diketahui lama masa pemerintahan dan keterkaitannya dengan Benayuk, maka diperkirakan tragedi di Menjelutung tersebut terjadi pada sekitaran awal abad XI.
Kelompok-kelompok suku Tidung pada zaman kerajaan Menjelutung belumlah seperti apa yang terdapat sekarang ini, sebagaimana diketahui bahwa dikalangan suku Tidung yang ada di Kalimantan timur sekarang terdapat 4 (empat) kelompok dialek bahasa Tidung, yaitu :
1. Dialek bahasa Tidung Malinau
2. Dialek bahasa Tidung Sembakung.
3. Dialek bahas Tidung Sesayap.
4. Dialek bahas Tidung Tarakan yang biasa pula disebut Tidung Tengara yang kebanyakan bermukim di daerah air asin.
Dari adanya beberapa dialek bahasa Tidung yang merupakan kelompok komunitas berikut lingkungan sosial budayanya masing-masing, maka tentulah dari kelompok-kelompok dimaksud memiliki pemimpin masing-masing. Sebagaimana diriwayatkan kemudian bahwa setelah kerajaan Benayuk di Menjelutung runtuh maka anak keturunan beserta warga yang selamat berpindah dan menyebar kemudian membangun pemukiman baru. Salah seorang dari keturunan Benayuk yang bernama Kayam selaku pemimpin dari pemukiman di Linuang Kayam (Kampung si Kayam) yang merupakan cikal bakal dari pemimpin (raja-raja) di Pulau Mandul, Sembakung dan Lumbis.
Selang 15 (lima belas) musim setelah Menjelutung runtuh seorang keturunan Benayuk yang bernama Yamus (Si Amus) yang bermukim di Liyu Maye mengangkat diri sebagai raja yang kemudian memindahkan pusat pemukiman ke Binalatung (Tarakan). Yamus memerintah selama 44 (empat puluh empat) musim, setelah wafat Yamus digantikan oleh salah seorang cucunya yang bernama Ibugang (Aki Bugang), Ibugang beristrikan Ilawang (Adu Lawang) beranak tiga orang. Dari ketiga anak ini hanya seorang yang tetap tinggal di Binalatung yaitu bernama Itara, yang satu ke Betayau dan yang satu lagi ke Penagar.
Ibugang wafat setelah mmerintah selama 22 (dua puluh dua) musim yang kemudian digantikan oleh Itara yang memerintah selama 29 (dua puluh sembilan) musim. Anak keturunan Itara yang bernama Ikurung kemudian meneruskan pemerintahan dan memerintah selama 25 (dua puluh lima) musim. Ikurung beristrikan Puteri Kurung yang beranakkan Ikarang yang kemudian menggantikan ayahnya yang telah wafat. Ikarang memerintah selama 35 (tiga puluh lima) musim di Tanjung Batu (Tarakan).
Raja selanjutnya bernama Karangan yang bristrikan Puteri Kayam (Puteri dari Linuang Kayam) yang kemudian beranakkan Ibidang. Raja selanjutnya bernama Bengawan yang diriwayatkan sebagai seorang raja yang tegas dan bijaksana dan wilayah kekuasaannya di pesisir melebihi batas wilayah pesisir Kabupaten Bulungan sekarang yaitu dari Tanjung Mangkaliat di selatan kemudian ke utara sampai di Kudat (Sabah, Malaysia). Diriwayatkan pula bahwa Raja Bengawan sudah menganut Agama Islam dan memerintah selama 44 (empat puluh empat) musim. Setelah Bengawan wafat ia digantikan oleh puteranya yang bernama Itambu, yang memerintah selama 20 (dua puluh) musim. Setelah Itambu wafat, pemerintahan kemudian dipimpin oleh raja yang bergelar Aji Beruwing Sakti yang memerintah selama 30 (tiga puluh) musim, kemudian digantikan oleh Aji Surya Sakti yang memerintah selama 30 (tiga puluh) musim.
Setelah Aji Surya Sakti wafat kemudian digantikan oleh puteranya yang bernama Aji Pengiran Kungun yang memerintah selama 25 (dua puluh lima) musim. Raja selanjutnya bernama Pengiran Tempuad yang kemudian kawin dengan raja perempuan suku Kayan di Sungai Pimping bernama Ilahai.
Pengiran Tempuad memerintah selama 34 (tiga puluh empat) musim kemudian digantikan oleh Aji Iram Sakti yang memerintah selama 25 (dua puluh lima) musim, pada masa ini raja berkedudukan di Pimping. Aji Iram Sakti mempunyai anak perempuan yang bernama Adu Idung. Setelah Aji Iram Sakti wafat kemudian digantikan oleh kemanakannya yang bernama Aji Baran Sakti yang beristrikan Adu Idang. Dari perkawinan ini lahirlah Datoe Mancang. Aji Baran Sakti memerintah selama 20 (dua puluh) musim. Datoe Mancang kemudian menggantikan ayahnya sebagai raja dan diriwayatkan bahwa masa pemerintahan Datoe Mancang adalah yang paling lama yaitu 49 (empat puluh sembilan) musim.
Keturunan Datoe Mancang yang meneruskan pemerintahan adalah Abang Lemanak yaitu memerintah selama 20 (dua puluh) musim dan pada masa ini raja berkedudukan di Baratan. Abang Lemanak kemudian digantikan oleh adik bungsunya yang bernama Ikenawai (seorang wanita). Ikenawai bersuamikan Datoe Radja Laut keturunan Radja Suluk. Setelah memerintah selama + 15 (lima belas) musim pemerintahan kemudian diserahkan kepada suaminya. Pemerintahan kemudian kembali ke Tarakan (di Pamusian). Pada masa ini kerajaan Tidung yang dikuasai Ikenawai dapat disatukan dengan kerajaan Suluk dibawah perintah Datoe Radja Laoet yang kemudian bergelar Sultan Abdurrasid.
Sejak masa pemerintahan Sultan Abdurrasid, riwayat-riwayat dari para nara sumber sudah menyebutkan tahun hijriah yang hitungannya tidak berbeda dengan hitungan musim, dan diriwayatkan bahwa masa pemerintahan Sultan Abdurrasid berlangsung selama 14 tahun. Sultan Abdurrasid dan Ikenawai (bergelar Ratu Ulam Sari) beranak dua orang putera dan satu puteri (meninggal sebelum dewasa). Kedua orang putera ini bergelar Dipati Anum dan Wira Kelana. Setelah Sultan Abdurrasid wafat, kemudian digantikan oleh Dipati Anum yang bergelar Amiril Pengiran Dipati dan Wira Kelana sebagai Radja Muda. Pada masa ini kerajaan Suluk kembali memisahkan diri dengan rajanya adalah adik bungsu Sultan Abdurrasid yang bernama Datoe Mering. Amiril Pengiran Dipati kawin dengan Mayang Sari anak Pengiran Sukmana dari Sebawang (di wilayah Kecamatan Sesayap sekarang) yang kemudian melahirkan Pengiran Singa Laoet, Mayang Sari (muda), Sukma Sari dan Kumala Sari.
Saudara Amiril Pengiran Dipati yaitu Radja Muda Wira Kelana kawin dengan Aji Dayang Minti anak Imam Dagiri (berasal dari Demak) dengan isterinya Sukma Dewi Puteri Petung dari Kerajaan Pasir. Dari perkawinan Wira Kelana dan Aji Dayang Minti beranakkan Digadung dan Kidung Bulan. Digadung kemudian kawin dengan sepupunya yaitu anak Amiril Pengiran Dipati yang bernama Mayang Sari (muda) yang kemudian beranak Wira Amir, Aji Sari dan Aji Dayang. Aji Dayang bersuamikan Datoe Kana Dumaring dari Berau dan beranakkan Pengiran Mas, Pengiran Digadung dan Sekennink. Dari suami yang kedua yaitu Muhammad Al-Musyarafah (dari Irak) Aji Dayang melahirkan Radja Besar dan Zainal Abidin Al-Mukarramah.
Anak perempuan Digadung yang bernama Aji Sari bersuamikan Kasimuddin asal Bone (Sulawesi Selatan) kemudian melahirkan tiga orang putera yiatu Kapitan Raga, Kapitan Maburapadasirata dan Kapitan Kalipakan. Anak laki-laki Digadung yang bernama Wira Amir kawin dengan sepupunya yaitu anak Pengiran Singa Laoet yang bernama Sinaran Bulan dan melahirkan anak yang kemudian menjadi Raja Bulungan bergelar Sultan Alimuddin dan biasa pula disebut sebagai Marhum Salimbatu.
Diriwayatkan bahwa raja Amiril Pengiran Dipati (Dipati Anum) memerintah selama 42 tahun dan setelah wafat kemudian digantikan oleh puteranya yang bergelar Amiril Pengiran Singa Laoet yang melanjutkan pemerintahan selam 37 tahun.
Amiril Pengiran Singa Laoet digantikan pula oleh puteranya yang kemudian bergelar Amiril Pengiran Maharajalila yang memerintah selama 45 tahun.
Isteri Raja Amiril Pengiran Singa Laoet bernama sari Banun yang melahirkan Amiril Pengiran Maharajalila dan Sinaran Bulan yang kemudian bersuamikan Wira Amir yang memimpin Kewiraan (semacam panglima pada zaman sekarang).
Amiril Pengiran Maharajalila beranak Intuyun, Aji Jubida yang bersuamikan Zainal Abidin Al-Mukarramah putera Aji Dayang. Aji Jubida yang bersuamikan Sultan Alimuddin putera Wira Amir, dan Pengiran Mustafa yang kemudian menggantikan ayahnya sebagai raja bergelar Amiril Pengiran Maharajalila (II) yang kemudian berisrikan Siti Nurlaila puteri Pengiran Prabu Sakti bin Pengiran Besar Pendekar Laoet dari daerah Sesayap. Dari perkawinan ini melahirkan Pengiran Dipati, Pengiran Maharajadinda Bertanduk, Pengiran Lukmanul Hakim, Pengiran Jafarudin dan Siti Nurbaya yang bersuamikan Pengiran Besar Kar bin Pengiran Amangkurat bin Pengiran Prabu Sakti dari daerah Sesayap.
Amiril Pengiran Maharajalila (II) juga beristrikan Puteri Radja Kayan di Pimping yang kemudian melahirkan Pengiran Surya. Diriwayatkan bahwa masa pemerintahan Amiril Pengiran Maharajalila (II) adalah selama 29 tahun. Beliau wafat karena dibunuh oleh pamamnya yang bernama Wira Amir yang akibat ambisinya ingin menguasai pemerintahan dan segala tipu dayanya berhasil membunuh Pengiran Mustafa / Amiril Pengiran Maharajalila (II) dengan dalih kecelakaan.
Kemudian Wira Amir mengambil alih tampuk pemerintahan. Para kerabat raja menentang tindakan Wira Amir tersebut dan kemudian ditunjuk Amiril Pengiran Dipati (II) sebagai raja. Wira Amir kemudian mengasingkan diri ke Berau, atas dukungan Raja Berau Wira Amir kemudian membentuk kerajaan sendiri dan bergelar Amiril Mukminin dengan kedudukan di Baratan. Atas dasar inilah (mungkin) pihak Berau pernah menyatakan bahwa wilayah Kesultanan Bulungan dulunya berada dibawah kekuasaan Raja Berau. Hal ini sangat sulit dibenarkan karena hanya merupakan pernyataan sepihak mengingat banyaknya riwayat yang terdapat diwilayah Kabupaten Bulungan bertentangan dengan apa yang dinyatakan tersebut.
Apabila yang dimaksudkan adalah wilayah yang dikuasai Wira Amir, boleh jadi ada kemungkinannya karena sudah tentu ada kesepakatan antara Wira Amir dengan pihak Kerajaan Berau atas dukungan terhadap pembentukan kerajaan baru yang dipimpin oleh Wira Amir yang merupakan cikal bakal dari kerajaan yang kemudian disebut Kesultanan Bulungan.
Sebagaimana perkembangan selanjutnya yaitu setelah Wira Amir wafat digantikan oleh puteranya yang bergelar Sultan Alimuddin yang berkedudukan di Salimbatu pada masa inilah dinyatakan bahwa Kerajaan Bulungan resmi terpisah dari Berau dalam arti berdiri sendiri tanpa membawahi maupun dibawah perintah kerajaan lain, baik itu dengan Kerajaan Berau maupun kerajaan-kerajaan lain yang berada di wilayah Kaltara sekarang seperti Kerajaan Sesayap, Kerajaan Sembakung maupun Kerajaan Tarakan yang merupakan kelanjutan dari dinasty dimana cikal bakal Kerajaan Bulungan adalah keturunan dari dinasty yang sama.
Sebagaimana diketahui pula bahwa pada awal masa pemerintahan Kolonial Belanda membawahi raja-raja di wilayah Kabupaten Bulungan, wilayah ini terbagi 4 (empat) daerah Swapraja yaitu Swapraja Bulungan, Swapraja Sembakung, Swapraja Sesayap dan Swapraja Tarakan dalam arti keempat daerah ini berkedudukan setingkat dalam pemerintahan penjajahan Belanda. Sumber : http://www.sejarah-astrologi-metafisika.co.cc/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar