free counters

Selasa, 03 Mei 2011

Sejarah kerajaan Bulungan

Berdirinya Kerajaan Bulungan tidak dapat dipisahkan dengan mitos ataupun legenda yang hidup secara turun-temurun dalam masyarakat. Legenda bersifat lisan dan merupakan cerita rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya yang tidak tertulis dan sering kali mengalami distorsi maka sering kali pula dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Yang demkian itulah disebut dengan folk history (sejarah kolektif). Kuwanyi, adalah nama seorang pemimpin suku bangsa Dayak Hupan (Dayak Kayan) karena tinggal di hilir Sungai Kayan, mula-mula mendiami sebuah perkampungan kecil yang penghuninya hanya terdiri atas kurang lebih 80 jiwa di tepi Sungai Payang, cabang Sungai Pujungan. Karena kehidupan penduduk sehari-hari kurang baik, maka mereka pindah ke hilir sebuah sungai besar yang bernama Sungai Kayan.
bulungan
Suatu hari Kuwanyi pergi berburu ke hutan, tetapi tidak seekorpun binatang yang diperolehnya, kecuali seruas bambu besar yang disebut bambu betung dan sebutir telur yang terletak di atas tunggul kayu Jemlay. Bambu dan telur itu dibawanya pulang ke rumah. Dari bambu itu keluar seorang anak laki-laki dan ketika telur itu dipecah ke luar pula seorang anak perempuan. Kedua anak ini dianggap sebagai kurnia para Dewa. Kuwanyi dan istrinya memelihara anak itu baik-baik sampai dewasa. Ketika keduanya dewasa, maka masing-masing diberi nama Jauwiru untuk yang laki-laki dan yang perempuan bernama Lemlai Suri. Keduanya dikawinkan oleh Kuwanyi.
Kisah Jauwiru dan Lemlai Suri kini diabadikan dengan didirikannya sebuah Monumen Telor Pecah. Monumen tersebut terletak di antara Jl. sengkawit dan Jl. Jelarai, Kota Tanjung Selor, yang mengingatkan kita tentang cikal bakal berdirinya kesultanan Bulungan.
Bulungan, berasal dari perkataan Bulu Tengon (Bahasa Bulungan), yang artinya bambu betulan. Karena adanya perubahan dialek bahasa Melayu maka berubah menjadi “Bulungan”. Dari sebuah bambu itulah terlahir seorang calon pemimpin yang diberi nama Jauwiru. Dan dalam perjalanan sejarah keturunan, lahirlah kesultanan Bulungan. Setelah Kuwanyi wafat maka Jauwiru menggantikan kedudukan sebagai ketua suku bangsa Dayak (Hupan). Kemudian Jauwiru mempunyai seorang putera bernama Paran Anyi.
Paran Anyi tidak mempunyai seorang putera, tetapi mempunyai seorang puteri yang bernama Lahai Bara yang kemudian kawin dengan seorang laki-laki bernama Wan Paren, yang menggantikan kedudukannya. Dari perkawinan Lahai Bara dan Wan Paren lahir seorang putera bernama Si Barau dan seorang puteri bernama Simun Luwan. Pada masa akhir hidupnya, Lahai Bara mengamanatkan kepada anak-anaknya supaya “Lungun” yaitu peti matinya diletakkan di sebelah hilir [sungai Kipah]. Lahai Bara mewariskan tiga macam benda pusaka, yaitu ani-ani (kerkapan). Kedabang, sejenis tutup kepala dan sebuah dayung (bersairuk). Tiga jenis barang warisan ini menimbulkan perselisihan antara Si Barau dan saudaranya, Simun Luwan. Akhirnya Simun Luwan berhasil mengambil dayung dan pergi membawa serta peti mati Lahai Bara.
Karena kesaktian yang dimiliki oleh Simun Luwan, hanya dengan menggoreskan ujung dayung pada sebuah tanjung dari sungai Payang, maka tanjung itu terputus dan hanyut ke hilir sampai ke tepi Sungai Kayan, yang sekarang terletak di kampung Long Pelban. Di Hulu kampung Long Pelban inilah peti mati Lahai Bara dikuburkan. Menurut kepercayaan seluruh keturunan Lahai Bara, terutama keturunan raja-raja Bulungan, dahulu tidak ada seorangpun yang berani melintasi kuburan Lahai Bara ini, karena takut kutukan Si Barau ketika bertengkar dengan Simun Luwan. Bahwa siapa saja dari keturunan Lahai Bara bila melewati peti matinya niscaya tidak akan selamat. Tanjung hanyut itu sampai sekarang oleh suku-suku bangsa Dayak Kayan dinamakan Busang Mayun, artinya Pulau Hanyut.
Kepergian Simun Luwan disebabkan oleh perselisihan dengan saudaranya sendiri, saat itu merupakan permulaan perpindahan suku-suku bangsa Kayan, meninggalkan tempat asal nenek moyang mereka di sungai Payang menuju sungai Kayan, dan menetap tidak jauh dari Kota Tanjung Selor, ibu kota Kabupaten Bulungan sekarang. Suku bangsa Kayan hingga sekarang masih terdapat di beberapa perkampungan di sepanjang sungai Kayan, di hulu Tanjung Selor, di Kampung Long Mara, Antutan dan Pimping. Simun Luwan mempunyai suami bernama Sadang, dan dari perkawinan mereka lahir seorang anak perempuan bernama Asung Luwan. Asung Luwan kawin dengan seorang bangsawan dari Brunei, yaitu Datuk Mencang.
Para kerabat Kesultanan Bulungan
Sejak pemerintahan Datuk Mencang inilah timbulnuya kerajaan Bulungan. Datuk Mencang adalah salah seorang putera Raja Brunei di Kalimantan Utara yang telah mempunyai bentuk pemerintahan teratur. Datuk Mencang berlabuh di muara sungai Kayan Karena kehabisan persediaan air minum. Dengan sebuah perahu kecil Datuk Mencang dan Datuk Tantalani menyusuri sungai Kayan mencari air tawar, tetapi suku bangsa Kayan sudah siap menghadang kedatangan mereka. Mujur pihak Datuk Mencang dan Datuk Tantalani cukup bijaksana dapat mengatasi keadaan dan berhasil mengadakan perdamaian dengan penduduk asli sungai Kayan. Dari hasil perdamaian ini akhirnya Datuk Mencang kawin dengan Asung Luwan, salah seorang puteri keturunan Jauwiru.
Menurut legenda, lamaran Datuk Mencang atas Asung Luwan ditolak, kecuali Pangeran dari Brunei itu sanggup mempersembahkan mas kawin berupa kepala Sumbang Lawing, pembunuh Sadang, kakaknya. Melalui perjuangan, ketangkasan dan kecerdasan, akhirnya Datuk Mencang dapat mengalahkan Sumbang Lawing. Perang tanding dilakukan dengan uji ketangkasan membelah jeruk yang bergerak dengan senjata. Datuk Mencang lebih unggul dan meme-nangkan uji ketangkasan tersebut.
Setelah Asung Luwan menikah dengan datuk Mencang (1555-1594), berakhirlah masa pemerintahan di daerah Bulungan yang dipimpin oleh Kepala Adat/Suku, karena sejak Datuk Mencang memimpin daerah Bulungan, pemimpinnya disebut sebagai Kesatria/Wira.

Berikut adalah daftar Sultan Bulungan, daftar berikut masih belum sempurna, karena ada tahun yang hilang serta nama yang tidak diketahui.[2]

Masa Pemerintahan Yang Dipimpin Oleh Seorang Kesatria/Wira

  • Datuk Mencang (Seorang bangsawan dari Brunei), beristrikan Asung Luwan(1555-1594)
  • Singa Laut, Menantu dari Datuk Mencang (1594-1618)
  • Wira Kelana, Putera Singa Laut (1618-1640)
  • Wira Keranda, Putera Wira Kelana (1640-1695)
  • Wira Digendung, putra Wira Keranda (1695-1731)
  • Wira Amir, Putera Wira Digendung Gelar Sultan Amiril Mukminin (1731-1777)

Masa Pemerintahan Yang Dipimpin Oleh Seorang Sultan

  • Aji Muhammad/Sultan Alimuddin bin Muhammad Zainul Abidin/Sultan Amiril Mukminin/Wira Amir (1877-1817)
  • Muhammad Alimuddin Amirul Muminin Kahharuddin I bin Sultan Alimuddin (jabatan ke-1) (1817-1861)[3]
  • Muhammad Jalaluddin bin Muhammad Alimuddin (1861-1866)
  • Muhammad Alimuddin Amirul Muminin Kahharuddin I bin Sultan Alimuddin (jabatan ke-2) (1866-1873)
  • Muhammad Khalifatul Adil bin Maoelanna (1873-1875)
  • Muhammad Kahharuddin II bin Maharaja Lela (1875-1889)
  • Sultan Azimuddin bin Sultan Amiril Kaharuddin (1889-1899).
  • Pengian Kesuma (1899-1901). Ia adalah istri Sultan Azimuddin.
  • Sultan Kasimuddin
  • Datu Mansyur (1925-1930), Pemangku jabatan sultan
  • Maulana Ahmad Sulaimanuddin (1930-1931)
  • Maulana Muhammad Jalaluddin (1931-1958)
Pada tahun 1850, orang Belanda, yang menaklukkan Berau pada tahun 1834 dan dikenakan kedaulatan mereka untuk Kutai pada tahun 1848, yang ditandatangani dengan Sultan Bulungan Kontrak Politik. Bersemangat untuk memerangi pembajakan dan perdagangan budak, bersedia untuk melawan pembajakan dan perdagangan budak, mereka mulai untuk campur tangan di wilayah ini.
Sampai tahun 1860, Bulungan berada di bawah Kesultanan Sulu. Selama periode ini, kapal Sulu pergi ke Tarakan dan kemudian di Bulungan untuk perdagangan langsung dengan Tidung. Pengaruh ini berakhir pada 1878 dengan penandatanganan perjanjian antara Inggris dan Spanyol yang dirancang untuk Sulu.
Pada 1881, Perusahaan Kalimantan Utara Chartered dibentuk, yang merupakan Borneo utara di bawah yurisdiksi Inggris, tetapi Belanda mulai menolak. Kesultanan itu akhirnya dimasukkan dalam kerajaan Hindia Belanda pada tahun 1880-an kolonial. Orang Belanda menginstal sebuah pos pemerintah di Tanjung Selor pada tahun 1893. Pada tahun 1900-an, seperti banyak negara-negara kerajaan lain di kepulauan ini, Sultan terpaksa menandatangani Korte verklaring, pernyataan "singkat" oleh yang menjual sebagian besar kekuasaannya atas tanah hulu.
Orang Belanda akhirnya mengakui perbatasan antara dua wilayah hukum pada tahun 1915. Kesultanan ini dikenakan status Zelfbestuur, "administrasi sendiri", pada tahun 1928, lagi-lagi seperti banyak negara pangeran Hindia Belanda.
Penemuan minyak di BPM (Bataafse Petroleum Maatschappij) di pulau Bunyu dan Tarakan akan memberikan sangat penting bagi Bulungan untuk orang Belanda, karena Tarakan ibukota daerah.
Setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, wilayah menerima status Wilayah Swapraja Bulungan atau "wilayah otonom" di Republik Indonesia pada tahun 1950, maka Wilayah Istimewa atau "wilayah khusus " pada tahun 1955. Sultan terakhir, Jalaluddin, meninggal pada tahun 1958. kesultanan itu dihapuskan pada tahun 1959 dan wilayah itu menjadi kabupaten yang sederhana.


Kesultanan Bulungan Terbakar

Akhir yang mengenaskan terjadi pada tahun 1964 di wilayah kesultanan Bulungan. Demikian tersurat dalam sebuah buku yang berjudul SEKILAS SEJARAH KESULTANAN BULUNGAN DARI MASA KE MASA, ditulis oleh H.S. Ali Amin Bilfaqih, S.Ip. Satu-satunya buku yang menampilkan tokoh-tokoh kerabat Sultan yang gugur dan hilang tanpa status. Buku ini diterbitkan oleh: CV. Eka Jaya Mandiri - Tarakan, dan saat ini buku tersebut terkoleksi oleh Perpustakaan dan Kearsipan Pemerintah Kabupaten Bulungan.
Sultan Muhammad Djalaluddin pernah diberi anugerah gelar Letnan Kolonel Tituler oleh Ratu Wilhelmina dari Negeri Belanda. Meskipun tidak diceritakan bagaimana reaksi Sultan ketika menerima gelar, apakah senang, bangga, menerima atau menolak namun selanjutnya dilaksanakan pesta Birau pertama selama 40 hari 40 malam.
Dijelaskan bahwa Sultan tidak mau hadir dalam undangan pada setiap pertemuan yang diadakan oleh Ratu Wilhelmina. Sultan bahkan dalam menghadiri setiap pertemuan mengutus Menteri Pertama Datu Bendahara Paduka Raja untuk kepentingan Pemerintah Republik Indonesia baik di Jakarta maupun di Yogyakarta. Keberadaan Sultan/utusan Sultan dalam Konferensi Meja Bundar di Malino menunjukkan sikap Sultan yang peduli dan mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bukti dukungan yang nyata lainnya Kesultanan Bulungan adalah seperti tampak pada gambar foto: Bendera Merah Putih dikibarkan Untuk pertama kalinya di depan istana dalam upacara resmi pada tanggal 17 Agustus 1949 pukul 07.00 dipimpin langsung oleh Sultan, sedang bertindak sebagai pengerek bendera pada saat itu adalah PJ. Pelupessi Asisten Wedana Tanjung Palas. Ini terjadi sebelum peristiwa pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat oleh Pemerintah Kerajaan Belanda (tanggal 27 Desember 1949). Hingga akhir hayat Sultan (wafat tanggal 21 Desember 1958), Bulungan masih merupakan daerah istimewa namun pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, wilayah Daerah Istimewa Bulungan memasuki babak baru karena status Daerah Istimewa diganti menjadi Kabupaten berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 tahun 1959 dengan pimpinan wilayah disebut Bupati. Bupati pertama adalah Andi Tjatjo gelar Datu Wihardja (adik ipar Sultan Muhammad Djalaluddin).
-----
Kapan terjadi, siapa pelakunya, dan mengapa Kesultanan Bulungan dibakar? Buku ini menjelaskan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa pembakaran terhadap singgasana Kesultanan Bulungan terjadi pada hari Kamis dan Jum'at, tanggal 23-24 Juli 1964. Pembakaran dilakukan oleh Satuan tentara dari Brawijaya di bawah koordinator Letnan B. Simatupang dengan menggerakkan massa penduduk setempat. Bagi penduduk yang tidak turut serta membakar istana dianggap pengikut Raja Muda, dan mereka ditangkap. Raja Muda dituduh sebagai pemberontak sebagaimana tersirat dalam pidato Mayor Sumina Husain (Komandan KODIM 0903 Bulungan di Tanjung Selor pada waktu itu): "Para Bangsawan Bulungan ingin memberontak terhadap Pemerintah RI yang sah dengan gerakan yang disebut SUBVERSIF BULTIKEN dan saat ini Raja Muda telah melarikan diri"...

Menggugat Peristiwa Kelam 1964


Kraton Bulungan Dibakar Tentara
BANYAK peristiwa di masa lalu yang sekedar menjadi catatan sejarah yang tenggelam dalam tumpukan arsip di masa lalu. Tetapi banyak pula sejarah masa lalu yang menimbulkan keinginan banyak pihak untuk mengungkapkannya lebih jauh. Apalagi bila peristiwa itu berkaitan dengan tragedi dan tindakan yang bertentangan dengan rasa keadilan dan kebenaran.
Kabupaten Bulungan, sebuah daerah otonom yang terletak di provinsi Kaltim juga punya hal yang sama. Aku ingat, saat DPP Golkar dipimpin oleh Akbar Tanjung, tokoh-tokoh di daerah itu pernah mengajukan sebuah tuntutan kepada Akbar yang saat itu menjadi Ketua DPR-RI. Kebetulan, aku mencatat peristiwa itu dengan sangat baik.
Maklumlah, aku berasal dari daerah itu. Meski tidak lagi berdomisili di sana, bekerja sebagai perantau di Jakarta, aku terus mengikuti perkembangan yang ada di daerah itu. Apalagi orangtuaku tinggal di sana. Begitu pula politik lokal yang ada di daerah yang letaknya cukup jauh di pelosok dan dekat dengan perbatasan Malaysia Timur itu.
Tuntutan yang disebut “Bulungan Menggugat” itu disampaikan pada Akbar pada 1 Februari 2003 saat acara Temu Kader Partai Golkar di Lapangan Agathis, Tanjung Selor. Saat itu Akbar memang tengah berkunjung ke Kabupaten Bulungan dalam rangka melakukan konsolidasi partai. Para aktivis Partai Golkar memanfaatkan kesempatan itu mengajukan “Bulungan Menggugat”.
Tuntutan itu meminta Akbar sebagai salah satu tokoh nasional mendukung rakyat di Kabupaten Bulungan menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi Tenguyun – julukan untuk Kabupaten Bulungan – dalam kaitannya dengan peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada tahun 1964.
Maklumlah, setelah era reformasi, baru kali itulah tokoh-tokoh di Kabupaten Bulungan berani menyampaikan aspirasi mereka. Aspirasi yang tersimpan di dalam hati semua anak bangsa yang bermukim di seluruh Kabupaten Bulungan, dan menjadi sesuatu yang mengganjal, menurutku sangatlah wajar. Sesuatu yang menyesakkan dada mereka semua karena bertentangan dengan rasa kemanusiaan patutlah didengarkan.
Sejumlah tokoh dan warga masyarakat saat itu menuntut agar persoalan tragedi kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1964 itu bisa diselesaikan secara tuntas. Latar belakangnya, kata mereka, adalah tuduhan kontra revolusi kepada tetua adat Kabupaten Bulungan yang umumnya adalah para anggota bangsawan Kerajaan Bulungan dan penistaan habis-habisan terhadap keluarga kerajaan Bulungan ketika itu.
Tuduhan kontra revolusi itu dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) cabang setempat. Dan karena saat itu PKI adalah salah satu partai yang dekat dengan kekuasaan, dengan mudah mereka merekayasa fitnah yang ditujukan pada para tetua adat Kerajaan Bulungan. Akibat fitnah tanpa bukti itu, pasukan KKO dan sejumlah aktivis PKI akhirnya melakukan tindakan sepihak.
Pasukan KKO dari Tarakan yang bergerak atas perintah Panglima Daerah Militer Mulawarman Brigjen Suharyo (Haryo Kecik, red) melakukan penyerbuan terhadap Kraton Bulungan di Tanjung Palas. Akibatnya, Kraton bersejarah itu dibakar habis dan harta kekayaannya dijarah oleh para penyerbu. Para kerabat kraton yang ingin membela Sultan Bulungan dan keluarganya dibantai. Dalam peristiwa pada 1964 itu terbunuh sekitar 50 orang keluarga Sultan Bulungan !
Meskipun peristiwa tersebut sudah berlalu lebih dari 40 tahun yang lalu, namun kejadian tersebut masih terus terbayang-bayang di benak para warga Kabupaten Bulungan. Mereka tak berdaya menggugat tragedi tersebut saat era Soeharto masih berkuasa, karena begitu kuatnya cengkraman rezim militer yang ada. Tetapi setelah reformasi datang, sejumlah keturunan keluarga Kesultanan yang masih hidup merasa perlu mengungkapkan hal itu.
Bagi mereka, peristiwa itu begitu mengerikan dan tak mungkin terlupakan sebelum ditegakkannya kebenaran dan keadilan. Kalau diperlukan saksi-saksi hidup, maka sejumlah orang menyatakan kepadaku bahwa siap untuk menjadi saksi sejarah akan kebenaran peristiwa kelam di masa lalu yang kerapkali hendak disembunyikan rapat-rapat itu !
Sepucuk surat telah dilayangkan ke pemerintah pusat di Jakarta untuk melakukan penyelidikan terhadap kejadian memilukan yang telah melukai harga diri rakyat Kabupaten Bulungan itu. Menurut salah satu tokoh, permintaan yang diajukan kepada pemerintah pusat itu adalah permintaan sederhana yang seyogyanya bisa dipenuhi oleh Jakarta.
“Kami tidak minta merdeka ! Kami tidak pernah menuntut macam-macam sejak Indonesia merdeka sampai sekarang ! Tetapi ijinkan kami kali ini bersuara agar ganjalan di hati kami lenyap,” begitulah ungkap salah satu tokoh kepadaku dengan bersemangat. Aku mencatatnya. Dan aku menuliskannya disini.
Tuntutan yang disebut sebagai “Bulungan Menggugat” itu terdiri dari dua pasal yaitu : Pertama, meminta agar pemerintah pusat menyampaikan permohonan maaf kepada ahli waris Kesultanan Bulungan atas terjadinya pembunuhan terhadap 50 orang keluarga Sultan Bulungan pada kejadian tahun 1964. Kedua, meminta agar pemerintah pusat dapat memberikan ganti rugi yang layak atas hancur dan terbakarnya Kraton Kesultanan Bulungan serta dirampoknya harta benda Kesultanan yang kini lenyap tak bersisa.
Apakah tuntutan tersebut dikabulkan atau tidak, tinggallah pada pihak-pihak yang menuntut untuk terus memperjuangkan haknya. Sedangkan pemerintah pusat di Jakarta, sepatutnyalah mendengarkan tuntutan itu sebaik-baiknya. Bagaimanapun Kabupaten Bulungan adalah bagian sah dari wilayah Republik Indonesia dan mereka juga berhak mendapatkan kebenaran dan keadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar